Minggu, 25 September 2016

Malam Minggu Kliwon




Sore hari ini masih terlihat mendung. Pelataran sekolah masih basah sisa hujan tadi siang yang menghambat jalannya upacara pembukaan Persami. Hawa dinginpun juga masih terasa memaksa memelukku. Entah kenapa sore ini menurutku sore yang paling mencekam. Aku bergidik. Suasana hening. Padahal aku sedang bersama teman-temanku di kamar mandi saat ini. Waktu istirahat kurang satu jam lagi, sedang aku masih belum ada tanda-tanda akan segera mandi dan bersiap mengikuti jelajah medan pukul setengah lima nanti.
Aku masih berdiri diantara teman-temanku, sampai sesaat kemudian aku mendengar desas desus dari kelompok lain bahwa malam ini adalah malam Minggu kliwon. Apa yang aneh dari Minggu kliwon? Kataku dalam hati. Tak kuhiraukan omongan mereka, aku tidak terlalu percaya tahayul, jadi aku tidak begitu menghiraukan. Sampai akhirnya aku tertarik saat salah satu dari mereka berkata,”malam Minggu kliwon itu malam dimana penunggu sekolah ini berkeliaran” kata salah satu dari mereka dengan tetap menjaga nada suaranya.”Mereka ada di dalam situ tuh, di belakang” mereka menunjuk arah sumur belakang kamar mandi. Sumur yang ditutup, tapi menyisakan lubang kecil di tepinya, suasananya ganjil, udaranya berat. Dengan tetap menjaga suaranya, seakan-akan mereka  takut kalau yang dibicarakan (tak lain adalah si penunggu sekolah)keluar dan datang. Selanjutnya suasana agak gaduh karena gosip yang disebarkan oleh kelompok seberang tersebut.
Aku tetap mendengus pelan. Pasti juga akal-akalan kakak pembina, biar suasana jadi lebih heboh, mereka selalu mencari  cara untuk menakut-nakuti kita.
“Ranti, nanti aku mandi bareng kamu ya?” pinta Yohana padaku.
“Ih! Nggak ah sendiri-sendiri aja” aku menolak dengan risih.
“Ayo dong, Ran, aku takut kalau sendirian. Nanti aku di datangin sama hantu penunggu sekolah ini” Yohana merengek. Aku mendengus pelan dan hanya diam. Tak tahu jalan fikiran sahabatku yang satu ini.  Dasar penakut, pikirku.
“Kalau kamu takut nanti hantunya malah seneng godain kamu. Udah ah, nggak usah takut gitu. Ini pasti cuman akal-akalan kakak pembina biar kita ngerasa takut!” seketika itu pula sekelompok orang yang menyebarkan gosip tadi memandangku tajam seakan-akan berkata ‘hati-hati kalau bicara!’. Aku tak peduli, aku yakin kalau ini hanya rekayasa. Sedangkan Yohana masih memasang wajah penuh memohon kepadaku. ”Yaudah, kita mandi bareng” seketika itu wajah Yohana terlihat lebih lega.
“Adek-adek, waktu istirahat kurang 45 menit lagi. Berhubung sepertinya banyak yang masih antri, dimohon agak dipercepat mandinya karena tidak ada tambahan waktu. Dan sekali lagi, dihimbau untuk adik-adik sekalian agar menjaga ucapan maupun tingkah lakunya, diharapkan tidak membuang sampah sembarangan. Permisi” kak Naura salah satu pembina kemudian pergi dengan diikuti paduan suara kecil ‘iya kak’. Kemudian suasana menjadi hening kembali.
Tiba saatnya aku dan Yohana mendapat jatah untuk mandi. ”Kita tetep gantian mandinya. Kamu dulu deh, aku yang hadap tembok” pintaku pada Yohana. Dan memasang posisi seperti yang kukatakan tadi. Balik kanan dan menghadap tembok tua yang sudah usang dan berlumut.
“Aku nggak jadi mandi deh, kasian yang antri masih banyak. Aku cuci muka aja” kata Yohana sambil mengeluarkan sabun mukanya dari dalam tas. Lagian benar juga kata Yohana, waktu istirahat Cuma tinggal 25 menit. Sedangkan yang diluar masih terhitung banyak. Terpaksa aku juga mengikuti Yohana, tapi untuk kali ini saja aku menunda mandi!
Aku sibuk mengeluarkan sabun wajah, sikat dan pasta gigi yang ada di dasar tasku. Aku sulit merogoh tas yang penuh dengan alat masak dan jaketku yang tebal,  aku lupa menaruhnya dalam kelas sebelum aku bawa ke kamar mandi. Sampai kemudian aku mendengar orang tertawa perempuan dewasa. Keras sekali! membuat bulu tengkukku berdiri. Tepat di belakangku. Deg! jantugku terasa berhenti. Aku mencoba menghibur diri dengan menganggap tawa itu, tawa dari Yohana. Tapi aku berfikir itu tawa Yohana. Segera mungkin aku membentaknya. ”Yohana! ngapain sih kamu tertawa sampai kayak gitu!” Yohana menatapku heran. Seakan-akan berkata ‘kamu ngomong apa sih?’
“Ketawa? Siapa ketawa ?” Yohana tetap menatapku heran.
Aku jadi bingung,“Oh nggak! Nggak apa-apa,a..aku salah denger” aku kembali merogoh tasku. Dan suara itu kembali terdengar, kali ini suara menangis. ”YO!!Apaan sih?” aku membentak Yohana lagi.
“Apa sih, Ran? Bentak-bentak mulu!” Yohana jadi jengkel karena ku bentak dia kesekian kali.
“Kamu mau ngerjain aku ya? Tadi ketawa barusan nangis, katanya takut! Kok jadi nakut-nakutin aku!” aku terus saja memarahinya karena ulahnya yang membuatku tidak nyaman.
“Ketawa? Nangis? Nggak liat apa aku dari tadi diem ?” Yohana masih bernada jengkel. Lantas Yohana mengerutkan kening. Memandangku.
“Apa? Mau bilang kalau tadi itu hantu?”
“Mungkin” berdiam sejenak lalu dia melanjutkan membasuh muka.
Apa iya tadi itu hantu? Kok Yohana nggak denger? kenapa harus aku yang denger suara itu?
***
Suara Kak Malik memecah keheningan,“1O menit lagi diharapkan semua siswa untuk tidur. Tidak boleh ada yang keluar kamar!” kak Malik berseru didampingi kak Naura serta kakak-kakak pembina lain di belakangnya.
Tepat yang dikatakan kak Malik. 10 menit selanjutnya sekolah menjadi hening. Semua siswa bersembunyi di balik selimut atau jaket mereka sendiri-sendiri. Mereka tampaknya sudah tertidur. Tak ada suara.
Aku bersembunyi di balik jaketku yang tebal. Mungkin aku berbeda atau kebetulan sama dengan siswa yang lain. Aku belum tertidur.
Tapi aku mencoba untuk tidur. Mencoba memejamkan mata. Beberapa saat aku terbangun lagi. Semula aku kira aku tidak nyaman dengan suasana seperti ini. Tapi kurasakan sekali lagi, ternyata aku ingin buang air kecil. Dikarenakan hawa dingin yang dari tadi terasa menyubit kulit tubuhku. Aku bangunkan Yohana untuk menemaniku. ”Yo, anterin aku dong..” kugerak-gerakkan tubuh Yohana yang mungil. ”Yo, nyenyak banget sih..anterin aku dooong kebelet niiih” pintaku sekali lagi. Yohana tak mau bangun juga. Sepertinya aku harus menahan sampai besok pagi. Sampai ada orang yang menemaniku ke kamar mandi. Kupejamkan mataku sekali lagi. Nggak kuat! Pekikku. Nggak mungkin aku nekad malem-malem gini ke kamar mandi, nanti ada hantu gimana, aku mengomel dalam hati. ”Yooo, anterin ke kamar mandi dooong” kucoba membangunkan Yohana sekali lagi.
Oke! Mau nggak mau aku harus berangkat sendiri. Nggak lucu kalau aku tiba-tiba ngompol disini, aku bisa menjadi bahan tertawaan dari kakak-kakak pembina dan teman-temanku, lagian mana ada hantu sih? Kuhibur diriku sendiri dengan mencoba berpikir realistis.
Aku bangun, kulihat disekelilingku, aku berharap ada yang bangun dan menemaniku buang air kecil. Mereka sudah nyenyak ternyata tidurnya. Pelan-pelan aku berdiri, tapi berasa ada yang mengamati gerak-gerikku. Tapi tak kuhiraukan. Aku ingin buang air kecil!
Sampai juga aku di kamar mandi. Aku bergidik, bukan! Bukan karena gelap. Kamar mandi sedang terang-terangnya. Tidak gelap sama sekali. Aku masuk di salah satu kamar mandi paling utara.
Aku nggak mimpi kan? berani banget aku malem-malem gini ke kamar mandi sekolah? hiii kalau nggak gara-gara kebelet...kataku dalam hati. Lega rasanya, seperti seharian nahan kencing. Padahal baru mau tidur tadi. Tapi rasa ragu-ragu menyergapku, buka pintu atau nggak. Kenapa jadi ragu gini? Tanyaku dalam hati.
Sayup-sayup kudengar sesuatu..pelan dan mengerikan...
Tiba-tiba ada seseorang bersenandung kecil. Suaranya tepat dibalik pintu kamar mandi. Kurasakan bulu kudukku berdiri saat seseorang mulai bicara. ”Aku sadar..aku sudah tua, Umurku hampir 100 tahun. Tapi kenapa kalian mengganggu kami? Kami tidak mengganggu kalian kalau kalian tidak mulai dulu..” lalu sesenggukan. ”Dulu..di zaman Belanda waktu itu, sekolah ini terbakar. Aku dan teman-teman mencari persembuyian. Tanpa pikir panjang kami meloncat ke dalam sumur itu. Tak terfikir..ternyata sumur itu sangat dalam. Berhari-hari kami tidak mendapat pertolongan sedangkan air di sumur tambah meninggi...akhirnya ajal menjemput kami. Tepat hari sabtu malam Minggu kliwon. ” Sesenggukan lagi. Siapa diluar? Pikirku. ”KENAPA KALIAN MENGGANGGU KAMII??  Dengan kalian menimbun sampah di tempat kami??” itu suara perempuan. Jelas sekali. Tiba-tiba tidak ada suara, hening. Aku bergidik. Aku benar-benar merasa takut.
Kriieet..
Kuseret perlahan pintu kamar mandi. Bau anyir darah langsung menyeruak kedalam hidungku. Aku meringis. Tiba-tiba ada yang mencekal tanganku. Lalu kumenjerit sekuat tenaga. Dia menyeretku, entah siapa. Seorang perempuan mengenakan dress warna putih selutut. Entah bagaimana wajahnya, setahuku menyeramkan setelah ia menoleh padaku sedetik yang lalu.
“Tolooooong....” aku menjerit sekali lagi. Aku diseret ke arah sumur tua dibelakang kamar mandi itu. Aku menahan langkahku, tapi cengkeramannya terlalu kuat. ”Siapa kau? Pergi! Lepaskan tanganku!!” jeritku.
“Kalian mengganggu kami!” katanya sambil melotot, matanya menyorot merah dan terus menyeretku ke arah sumur.
“Ampuun aku tidak mengganggu ! Lepaskan...” kataku pada wanita itu.
Lalu aku menoleh ke arah timur, tepat di samping musholah kira-kita 10 meter dari tempatku. Aku melihat kak Naura, Kak Malik, Yohana, serta semua orang yang ikut persami itu memanggil-manggil namaku. Mereka melambaikan tangan kepadaku sambil terus meneriakiku. ”Kak Maliiik tolooong...” aku terus meronta. Aku menangis. Dan dia terus menyeretku. Kemudian aku tidak tersadar lagi dan tidak ingat apa-apa lagi.
***
“Ranti..Ranti..” suara Kak Malik.
“Ranti..diik..” suara kak Naura.
“Ran..Ranti..bangun dong” Yohana menyahut.
Aku membuka perlahan mataku. Kepalaku pening, aku merasa kelelahan. Nafasku tersengal-sengal. Aku kenapa?
“Minum dulu ayok” kata Kak Malik sambil membangunkanku. Ku teguk segelas air putih itu. Aku benar-benar kelelahan, tenggorokanku terasa kering. Kulihat sekelilingku, mereka semua heran melihatku.
“Kak..” lirihku menatap kak Naura.
“Tadi kamu teriak-teriak waktu tidur. Kita kira kamu kesurupan” kata Yohana.
“Ceritakan apa yang kamu mimpikan” pinta Kak Nauradengan penasaran. Ternyata aku bermimpi. Mimpi yang paling buruk sepanjang hidupku. Ternyata aku hanya mimpi! Menggigil sekali aku mengingat tangan hantu itu yang menyeret tanganku.
Lalu kuceritakan semua yang aku alami dalam mimpi. Mulai dari aku membangunkan Yohana, mendengar seseorang berbicara dibalik pintu kamar mandi, sampai dia menyeretku ke arah sumur. ”Katanya kita mengganggu mereka karena kita membuang sampah ke sumur itu”. Kurasakan wajah teman-temanku seketika berubah menjadi was-was.
Oh Tuhan, kenapa aku baru sadar kalau ini juga ulahku. Tadi siang aku membuang bungkus makanan ke dalam sumur itu. Mungkin mereka marah juga karena aku yang berani menantang akan mitos Malam Minggu Kliwon itu. Kejadian itu memang benar adanya. Pernyataan itu dibenarkan oleh Pak Jalal penjaga sekolah ini. Ayah Pak Jalal dulu juga penjaga sekolah ini sejak zaman Belanda. Jadi beliau tahu persis keadaan waktu itu. Bagaimana saat kebakaran saat jam pelajaran, 5 anak muda yang masuk ke dalam sumur, hingga tiba-tiba ditemukan mereka sudah keadaan menjadi mayat. Ayah Pak Jalal tahu soal itu.
Bagaimanapun, mitos juga harus dipercaya. Seperti mitos malam Minggu Kliwon di sekolah ini. Mitos yang seharusnya aku percaya untuk menjadikanku tidak ceroboh seperti tadi siang. Agar mereka juga tenang, agar mereka tidak menggangguku serta siswa lain, agar sekolah ini tetap menjadi sekolah yang utuh tanpa gangguan makhluk lain.
Aku merasa sedikit tenang. Aku seperti menjadi perantara mereka untuk menyampaikan itu semua. Aku merasa sedikit lega walaupun aku masih teringat mimpi burukku tadi malam. Perantara yang sangat mengerikan! Lebih dari sebuah mimpi buruk!
Sambil membereskan barang-barangku ke dalam tas aku mendengar Kak Malik memanggil Pak Jalal yang sedang menyapu depan kelas. ”Pak Jalal, barusan pak Rudi menelepon saya setelah tadi subuh saya ceritakan kejadian Ranti. Katanya, Pak Jalal harus segera menutup lubang kecil itu. Untuk mencegah anak-anak sembarangan membuang sampah lagi di tempat itu.” Pak Jalal mengiyakan.
Setelah ini lubang itu akan tertutup. Tidak akan ada cela. Entah, apa mitos Malam Minggu Kliwon itu akan terus menjadi sejarah untuk sekolah ini. Atau mungkin dilupakan dan terus menimbun sampah. Apa akan ada kejadian seperti yang aku alami. Entahlah, ini mungkin menjadi yang terakhir karena tidak akan ada yang menimbun sampah di sumur tua itu lagi.
Tiba-tiba,seorang perempuan berlari, setahuku namanya Niar. Berlari menuju Kak Malik.” Kak Lia pingsan sambil mengeram deket sumur setelah dia buang bungkus tisu ke dalam sumur” kata Niar terengah-engah. Kak Malik dan Pak Jalal berlari diikuti Niar dan siswa yang penasaran.
Oh Tuhan, padahal mereka sudah diberi tahu, pikirku.
***
“Aaaaaaaaaarrghh....” Lia terus meronta dengan mata merah yang terbelalak. Tangannya mencengkeram kuat menarik baju Kak Malik dan Pak Ustadz yang datang beberapa saat lalu. Dan kakinya sekuat tenaga menyingkirkan kakak-kakak lain yang memegang pergelangan kakinya.
Mulut Pak Ustadz berkomat kamit membaca do’a untuk mengusir jin yang masuk ke tubuh Lia. Yang jadi pertanyaan adalah, kenapa Lia tidak dibawa ke mushollah atau kemana gitu. Kenapa masih ada di deket sumur ini? Ternyata usut punya usut, Lia nggak bisa diangkat. Badannya berat banget. Aku penasaran, aku melihat diamana Lia meronta itu dengan berjinjit-jinjit karena tubuhku lebih pendek dari teman-teman di depanku.Sekelebat aku melihat wajah dan mata Lia yang kemerahan. Aku jadi meringis sambil bergidik.
“Ooooaaaaaaahhh aaaaaarrgghhhh..hooh hooh hooh” Lia masih meronta. Dan aku semakin tergeser dari tempatku berdiri. Karena dorongan dari depan yang sepertinya takut karena eraman Lia. Tiba-tiba suara jadi hening. Lia tak sadarkan diri. Wajahnya dipenuhi oleh keringat. Selanjutnya Lia mulai bisa diangkat menuju UKS untuk direbahkan badannya yang kelihatannya sangat lemas. Dari jendela kulihat dia diberi bau-bauan oleh kak Naura dan Kak Shanti melepaskan jilbabnya lalu mengusap keringatnya dengan tisu.
Beberapa saat kemudian,saat semuanya kembali normal. Lia sudah sadar tapi harus tetap rebahan karena badannya yang tiba-tiba demam. Kak Malik juga sudah memberi himbauan sekali lagi untuk tidak membuang sembarangan di sumur itu. Semuanya diberi waktu untuk istirahat dan membereskan barang-barang sebelum upacara penutupan dimulai 5 menit lagi.
5 menit! Aku tiba-tiba ingin buang air kecil lagi. Kali ini aku tidak meminta Yohana untuk menemaniku. Karena ini pukul 10 pagi. Tidak ada yang perlu ditakutkan. Sampai di kamar mandi, entah kebetulan atau entah apalah namanya. Benar-benar sendiri! Tidak ada orang lain selain aku. Aku sedikit melirik melewati sumur yang suasananya tetap ganjil dari hari-hari sebelumnya. Dengan segera aku berlari kecil menuju kamar mandi.
Aku keluar dengan wajah lega. Tapi, aku merasakan ada seseorang jalan terseret-seret. Aku menigintip dari belokan kamar mandi. Suara itu berhenti di dekat sumur. Tak salah lagi. Itu Lia. Dengan wajah pucat sekali. Dia menghadap sumur, dan..oh sumur itu terbuka sendiri. Apa ini? Aku menahan jeritku dengan menutup mulut tak percaya. Apa ini mimpi? kuharap begitu. Oh Tuhan, sadarkan aku jika ini mimpi! Dengan perlahan Lia mendekati sumur yang terbuka itu. Aku ingin menghentikannya, tapi entah kenapa kakiku terasa berat sekali. Aku ingin berteriak, tapi lidahku kelu. Yang terjadi selanjutnya adalah Lia yang seperti mayat berjalan meluncur dengan sempurna ke arah sumur itu. Seperti ada yang mengajaknya. Seketika itu aku berteriak “Toloooooooong” lalu aku tak sadarkan diri. Aku terlalu kaget untuk melihat hal seperti ini.
Entah apa yang terjadi setelah ini. Aku hanya berharap ini semua adalah mimpi dan terbangun di kamarku sendiri.
***