Senin, 27 Januari 2025

SCBD (SEBUAH CINTA BERNAMA DINAR)

 "Gimana Nar, lo nggak kangen SCBD?"

"Kayaknya ini pertanyaan lo yang ke 1000 deh" 

"Gitu ya? Saking pinginnya lo bilang 'iya'"

Mereka diam, sudah 2 bulan semenjak Dinar resign dari tempat kerjanya di kawasan SCBD. Dinar kembali ke kotanya dan dapat kerja disana. Arta masih belum bisa jauh dari Dinar, perempuan itu sungguh mengusik ketenangan hatinya. Mereka dekat, lebih dari teman, tapi Dinar mengakhiri "pertemanan dekat" itu dan kembali ke tempat kelahirannya. 

"Udah lah Ta, gue udah nyaman disini. Kan masih ada Marta yang selalu ngejar ngejar lo, ada Ganesha yang diem diem ngirim makanan ke lo"

"Itu lagi.."

"Lagian lo kayak kesepian aja, tiap hari telpon gue"

Arta hanya tertawa kecil, Dinar baru menyadari kalau Arta berada di perjalanan. 

"Mau kemana lo?"

"Kenapa? Takut gue pergi jauh ya? Hahaha"

"Gue nanya aja sih, lo pergi jauh juga gapapa"

"Gue udah hampir 24 jam di bis nih, pegel juga rasanya"

"Mau kemana sih? Mau ke pulau komodo? Mau nyerahin diri disana?"

"Jangan gitu lah...gue dapet cuti 2 minggu, kemarin pulang dari Melbourne gue langsung ajuin cuti, ada tempat yang mau gue kunjungin karena muncul terus di pikiran gue. Daripada gue nanti sakit yaudah gue kesana aja"

"Ke Melbourne sama timnya Pak Christo?"

"Iya, tapi pulangnya gue sendiri karena mereka masih transit ke Malaysia, ada meeting dadakan di KL"

"Hmmm"

Dinar sambil menyiapkan alat alat yang akan dipakai nanti sore, ditemani Fanda yang sedari tadi senyum senyum mendengarkan cerita mereka berdua. Fanda sudah mendengar banyak cerita Dinar dan Arta, tentang kedekatan mereka, tentang betapa bucinnya Arta ke Dinar dan Dinar yang gengsi mengakui perasannya yang sebenarnya sama seperti Arta. Fanda teman kuliah Dinar, sejak lulus kuliah Dinar pindah ke Tangerang dan bekerja di kawasan SCBD dan Fanda tetap di kotanya, setelah 2 tahun Dinar resign dan berkumpul kembali dengan Fanda.

"Sekali kali jangan cuek napa deh, Nar"

"Apaan?" Jawab Dinar ketus

Di HP nya masih menyala layar video call dengan Arta. Sesekali Arta melihat jalan, sesekali mencuri pandang ke Dinar lalu tersenyum.

"Lo besok kerja?" Tanya Arta

"Iya lah, napa?"

"Lusa?"

"Libur"

"Ooh"

Diam lagi. Sebenarnya Dinar penasaran kemana Arta pergi, ingin rasanya bicara sesantai mungkin tapi Dinar terlanjur terbawa gengsi. Menggemaskan sekali.

"Oh iya lo dapat salam dari Bariq, kataya lo lupa kemarin belum pamitan ke dia"

"Oh ya? Aku lupa..kayaknya pas itu Bariq lagi perjalanan ke Finlan sama timnya Ko Acel"

"Iya habis dari Finlan dia langsung ke meja lo, dia nggak percaya kalau lo bener bener resign soalnya katanya lo masih punya utang ke dia"

"Utang apa dah?"

"Utang cerita katanya"

Deg! Dinar baru ingat kalau mau cerita ke Bariq tentang hubungannya sama Arta.

"Oooooohhh yaaa..yaudah lah gue udah lupa mau cerita apa"

"Lo udah makan?"

Terdengar Fanda cekikikan, Dinar melotot.

"Napa lo tanya tanya?"

"Mau makan bareng nggak?"

"Idih halu"

Tak ada jawaban dari Arta, dia sibuk menata barangnya, memakai topi lagi, sepertinya dia sampai ke tempat tujuannya.

"Udah sampai ya pak? Langsung turun disini?" Tanya Arta ke seseorang

"Iya mas turun disini" jawab bapak itu

"Nar, gue udah sampai, lo jemput gue ya gue laper, ini bener kan terminalnya" Arta mengarahkan kamera ke sekelilingnya dan terlihat tulisan Terminal Mencara disana

"HAHHH??? Lo..ngapain disini???" Dinar kaget bukan main, ternyata Arta mengunjunginya. Fanda tak kalah kaget sampai sampai dia meloncat dan iku melihat di HP Dinar.

"Naarr...kon disusul iku lo. Hahaha" (Naarr..kamu dijemput itu lo. Hahaha)

"Sialan kon, Fan" (Sialan kamu, Fan)

"Ini gue tunggu Lo dimana?"

"He orang gilak, ngapain sih lo jauh jauh kesini, cuma buat ke gue? Bener bener gilak, disini nggak ada apa apa, ini kota kecil, nggak ada starbucks disini"

"Yang penting ada lo kan hehe, kan gue udah bilang gue gilak juga gara gara lo"

Fanda tertawa gemas sambil menarik narik lengan Dinar

"Opo seh arek iki kah" (Apaan sih nih anak"

"Age ndangan susulen , Nar. Gowoen rene, aku pingin wero arek e" (cepetan jemput, Nar. Bawa kesini, aku pingin tau anaknya) pinta Fanda

"Nar, gue tunggu dimana nih?"

 "Yaudah deh lo tunggu di Supermarket warna merah disitu" 

Klik. Dinar menutup telfon sebelum Arta menjawab.

"Terus aku kudu piye njajal Fan?" (Terus aku harus ngapain coba Fan?)

"Yowes susulen kok, gek dandan sing uayu nggawe parfum seng wuangii" (yaudah jemput aja, terus dandan yang cantik pake parfum yang wangi)

"Ogah, ben wes ngene ae" (ogah, biar gini aja)

Dinar memasang jaket dan menuju parkiran, tak selang lama Dinar kembali.

"Fan aku nyele helm" (fan aku pinjam helm)

"Jupuken ndek loker" (ambil di loker)

Dinar menuju  loker, lantas kembali lagi ke Fanda.

"Opo maneh Nar, ndak budal budal"(apa lagi Nar, nggak berangkat berangkat)

"Aku nyilih make up, karo..parfum"(aku pinjam make up, sama..parfum)

Fanda tertawa keras, Dinar menepuk lengannya.

Sampai di dekat terminal, Dinar langsung menuju Supermarket Merah. Arta sudah duduk manis disana. Arta tersenyum lebar sambil berdiri ketika Dinar datang membawa motor. Dinar gugup. Dinar menggeleng geleng, ngapain sihh aku gugup, katanya dalam hati.

"Hai, Nar..apa kabar?" Tanya Arta sambil tersenyum

"Lain kali jangan gila lagi, tiba tiba datang kayak gini"

Arta hanya tertawa. 

"Yaudah ayo naik, katanya lo laper"

"Siap" Arta langsung naik, bonceng Dinar

-Lusa-

"Hari ini jadi ke tempat favorit lo kan? Apa tadi namanya?"

"Cafe Pinus Semeru"

"Waaah seru nih kayaknya, lets go"

Seperti biasa, Dinar yang nyetir motor. Sebetulnya Arta tidak mau bonceng, karena tadi malam sudah dicoba Arta yang menyetir saat mau makan malam di Megalobia hampir saja tertabrak mobil dari belakang karena Arya gugup, jadilah Dinar marah marah disitu.

Sesampainya di Pinus Semeru pukul 09.00

"Jadi gimana Nar? Lo nggak kangen sama SCBD?"

"Ini pertanyaan ke 1001" 

"Hahahahhahaha"

"Lagian lo tanya mulu"

"Gue kangen..sama lo Nar"

Dinar kaget, dia mengangkat kepala, lalu menunduk lagi.

"Lo ngapain ngide kesini?"

"Kan gue udah bilang mau nemuin lo"

Diam sejenak.

"Nar?"

"Hmm"

"Lo beneran nggak sama siapa-siapa sekarang?"

"Nggak ada"

"Lagi nunggu seseorang?"

Basa basi lo lama! Pikir Dinar

"Menurut lo?"

"Yaa kayaknya sih iya, tapi sebenernya gue kesini emang bener-bener kangen sama lo, pingin ketemu lo, pingin makan ya kayak gini sama lo, pingin ngobrol apa aja sama lo"

"Terus?"

"Terus gue mau yakinin lo..sekali lagi Nar..kalau gue bener-bener cinta sama lo Nar"

Dinar diam, melotot sedikit lalu tengok kanan kiri, takut ada yang mendengar.

"Tapi Ta..gue nggak bisa, gue emang lagi nunggu seseorang, tapi.."

"Tapi apa?"

"Orang itu kayak nggak mungkin aja buat gue, walaupun.."

Arta menunggu jawaban, wajahnya semakin mendekat

"Walaupun gue udah tau perasaannya dia ke gue"

"Emang dia nggak suka sama lo?"

"Suka, cinta bahkan"

"Wah.."Arta menarik mundur badannya. "Kayaknya gue kalah"

"Nggak"

"Terus?"

Makanan datang, mereka menyantap hidangan. Dengan suguhan pemandangan yang sangat indah, hutan pinus dan gunung semeru. Setelah itu tidak ada pembahasan yang serius lagi. Mereka lebih asik mengenang saat mereka di tempat kerja dulu. Arta bercerita betapa seringnya Ganesha mengirim dia makanan pagi siang sore bahkan malam untuk dimakaan di rumah. Betapa menggemaskannya Marta gadis Lombok yang unurnya beda 10 tahun dibawah Arta yang ikut kemanapun Arta pergi, dan Bariq yang selalu menanyakan kabar Dinar keapada Arta padahal dia bisa menghubungi Dinar kapanpun dia mau selagi nomor HP tidak ganti.

Sampai di depan Hotel Adelo, Arta turun Dinar ikut turun.

"Ngapain ikut turun? Mau nganter sampe kamar?"

Dinar mencubit Arta. 

"Gue mau tanya"

"Apa?"

"Emang tujuan lo tadi bilang itu ke gue apa? Maksud gue..lo butuh jawaban pasti?"

"Walaupun belum pasti, gue udah bisa nebak kok, lo nggak mungkin nerima gue"

"Misal nih, misal..kalau jawaban gue iya, gue terima lo, apa lo nggak kerepotan LDR?"

"Kenapa lo tanya gitu?"

"Jawab aja napa sih"

"Emm ya itu berarti ujian buat gue, pertahanin hubungan jarak jauh"

"Mudah nggk menurut lo?"

"Ngga sih, tapi harus gue jalanin"

"Lo yakin nggak akan pindah hati gitu kalau LDR?" 

"Nar..sebelum ini gue 5 tahun LDR, Palembang Tangerang, kalau Syina nggak diambil dulu sama Tuhan, pasti gue udah nikah sekarang Nar. Gue nggak pernah sia-siain seseorang yang gue sayang, gue cinta bahkan. Dulu seperginya Syila gue seperti nggak akan nemuin kayak dia lagi, gue seperti nggak akan jatuh cinta ke orang lagi. Tapi gue ketemu Lo, lo emang beda sama Syila tapi lo menarik hati gue Nar! Semakin kita deket gue semakin yakin lo bisa jadi orang yang bisa nemenin gue"

Dinar menunduk, nangis. Dia mengusap air di ujung matanya.

"Kata-kata gue nyakitin lo?" Tanya Arta

"Gue pernah pacaran 3 tahun, 2 tahun masih 1 kota menginjak tahun ketiga kita LDR Surabaya Tangerang, belum anniversary ke 3 dia udah beda, dia cari kesalahan-kesalahan gue biar dia ada bahan buat putus. Ternyata beneran putus, tapi ternyata sebelum putus dia udah pacaran sama temen kerjanya, sakit hati gue Ta. Mending gue tau sendiri dia kayak gitu, nah ini..gue tau dari temen-temennya Ta. Padahal tahun itu kita udah rencana mau lamaran terus nikah, gue udah bilang mau ngalah mau ikut dia aja ke Surabaya kalau kita nikah nanti. Itu semua hancur sama cewek penggoda itu. Sejak itu gue trauma, gue masih nggak mau buka hati, ada satu yang menarik hari gue tapi gue menahan biar gue nggak jatuh cinta terlalu dalam sama dia. Gue tutupin sama apa? Gue tutupin sama sikap cuek gue! Lo tau kenapa gue kembali ke kota gue? Karena gue mau hidup tenang di kota gue, cari pasangan disini, kerja disini, punya keluarga nanti disini. Udah cukup..sebelum gue jatuh cinta terlalu dalam" Dinar menahan dadanya yang sesak

Arta mendekat dan memeluknya.

"Gue...gue juga cinta sama lo Ta" Dinar menyabukkan tangannya di badan Arta, semakin lama semakin erat. Terdengar Arta juga menangis. Mereka berpelukan di pelataran Hotel Adelo, tak peduli lalu lalang orang melihat mereka.

"Kenapa gue tadi bilang nggak bisa? Karena gue takut Ta" lanjut Dinar sambil tetap memangis

Cukup lama, lalu mereka melepaskan pelukannya. 

"Lalu..apa saat ini lo belum siap? Kalau belum siap nggak apa-apa, gue tungguin sampai lo siap. Tapi gue harus balik ke Tangerang besok pagi"

"Gue.."

"Nggak harus jawab sekarang, santai.."Arta menepuk pundak Dinar

"Maafin gue ya Ta"

"Haha ngapain minta maaf, lo nggak salah apa-apa"

"Yaudah lo masuk deh, istirahat, gue besok ijin nggak masuk, besok gue jemput lo ke terminal"

"Oke deh siap, lo istirahat juga ya Nar. Dan nggak usah nangis lagi"

Dinar hanya mengangguk, Arta berlalu sambil melambaikan tangan.

Yaampun, drama hidupku. Kata Dinar dalam Hati.

Besoknya pukul 8 pagi.

Dinar menjemput Arta yang sudah siap di Lobi hotel.

"Langsung?" Tanya Dinar

"Langsung aja, kok lo bawa tas segala?"

"Ya nggak apa-apa"

10 menit kemudian sampai di terminal. Bis sudah standby. Dinar menaruh motor di parkiran lalu menuju tempat Arta berdiri beberapa langkah dari pintu masuk bis.

"Ayo Ta" ajak Dinar, Arta mengernyitkan dahi. "Ayo masuk, gue duduk deket jendela aja ya biar bisa lihat jalan" Arta masih bengong.

"Lo..mau kemana?" Arta bingung

"Gue nggak mau ada pertanyaan ke 1002, gue emang kangen SCBD dan kangen juga ngobrol di roof top sama lo"

"SERIUS??? NAR..."

Dinar melangkah terlebih dahulu, tapi tangan Arta menahan.

"Apa?"

"Lo kan belum jawab kemarin, lo bisa terima gue apa nggak? Kan kemarin belum jelas"

"Gue terima lo Ta, dengan segala kekurangan dan kelebihan lo, gue..terima..lo, oke"

Arta melonjak kegirangan, dia memeluk Dinar. 

"Terus..lo mau pindah lagi  Ke Tangerang?"

"Sayangnya..itu belum bisa..kita harus menguji kesabaran dulu dengan LDR, nothing problem kan?"

"Nggak apa apa banget Nar, beneran, lo terima gue aja gue seneng banget. Gue janji sama lo, gue nggak akan ninggalin lo"

"Yaudah dilanjut ngobrol dalam bis aja yak"

Lalu mereka tertawa sebentar, dan menaiki bis. Ini akan menjadi awal perjalanan terindah Dinar dan Arta.



Jumat, 29 Juli 2022

Cinta Ayah

 "Pokoknya aku nggak mau!" bentak Lovi sambil melempar buku yang dia ambil random di lemari, satu buku dua buku dia lempar ketika akan melempar buku ketiga tangan Lian menghentikannya. Tangannya memberontak dan lepas, lalu Lovi mengambil vas bunga dan ia lempar ke tembok di belakang Lian.

Pyarrrrrr

"Lovi!! Kamu jangan egois, dek. Ayah kan bicara ke kita baik-baik, kenapa kamu nolaknya bentak gitu sih?" Lian memarahi Lovi yang wajahnya semakin merah padam 

"Tapi kan Ayah udah kedua kali ini bilang masalah itu ke kita, harusnya kalau yang pertama bilang udah nggak disetujuin ya udah nggak usah dilanjutin" kata Lovi dengan suara bergetar "Mama nggak akan ada yang bisa gantiin, dan NGGAK BOLEH ada yang gantiin!"

"Masalah kamu bilang? ini bukan masalah! Ayah menawarkan solusi ke kita, tau nggak? dengan Tante Ratih jadi Mama tiri kita, kita jadi punya mama lagi dan ada yang nemenin kita dan ayah nantinya. Tante Ratih kan orangnya baik, kamu tau sendiril Lovi!"Lian geram dengan sikap adiknya yang baru saja masuk SMA itu, maksud Lian kalau tidak setuju setidaknya menolak dengan kalimat yang nadanya tidak meninggi seperti itu

Ayah hanya diam menunduk tak berani melihat kedua anaknya bertengkar di depannya. Di sampingnya, Lave, anak pertama Pak Lodi dan istrinya yang meninggal satu tahun lalu yaitu Bu Linda, menenangkan dengan mengelus pundak dan sesekali bilang "Ayah yang sabar, hati Lovi masih belum terbuka". Lave anak pertama dari 3 bersaudara yang usianya sekarang menginjak 29 tahun dan belum menikah. Kalaupun kejadian kecelakaan satu tahun lalu tidak merenggut nyawa Lasa, pasti Lave sekarang sudah menjadi Nyonya Lasa. 

Lasa, tunangannya Lave waktu itu meninggal karena kecelakan saat Lasa akan ikut mengubur Bu Linda, mama dari Lave. Hancur sekali hati Lave saat itu.

"Lian, Lovi duduk sini. Kita obrolin baik-baik" panggil Lave

Lian duduk di hadapan Lave, sedangkan Lovi masih berdiri memalingkan wajah.

"Lovi.. sekali ini aja" pinta Lave

Dengan berat langkah, Lovi duduk tepat di hadapan Ayah. Suasana hening beberapa saat, lalu terdengar isakan tangis dari Ayah. Lave mengelus pundak ayah, dengan menahan air mata. Terlihat Lian menengadahkan wajah ke atas seakan menahan kesedihan yang akan membuncah juga. Lovi hanya diam menunduk.

"Saat ayah berniat mengutarakan niat ayah untuk menjadikan Ratih sebagai mama kalian, ayah sangat berharap tidak ada pertengkaran seperti tadi. Ayah sangat minta maaf karena ayah kalian jadi bertengkar sekali lagi ayah minta maaf" kata ayah bergetar

"Ayah jangan bilang gitu.." Lave mulai mengeluarkan air mata "Lave yang harusnya minta maaf karena belum bisa membahagiakan ayah, Lave belum menikah belum bisa bantu ayah dari hal apapun termasuk mendidik adik-adik"

"Mendidik kamu dan adik-adik adalah tugas ayah, kamu tidak perlu menyalahkan diri sendiri seperti itu. Kalian masih sekolah, kuliah, dan belum menikah sekalipun kalian adalah sepenuhnya tanggungjawab ayah"

"Termasuk kebahagiaan anak-anak ayah!" saut Lovi 

"Kubilang jangan main bentak!"  Lian geram sambil melotot, Lovi melengos

"Iya Lovi benar, harusnya ayah tidak egois. Harusnya ayah tau diri, tapi ayah juga tidak mau mengabaikan amanat mama Linda sebelum dia meninggal kan.. "

"Gimana maksud ayah?" tanya Lian 

"Waktu mama dirawat, satu minggu sebelum mama meninggal, mama bilang ke ayah kalau ayah harus punya pendamping sampai ayah meninggal nanti. Ayah bilang 'ya ayah sama mama kan?" terus mama bilang 'kalau mama meninggal ayah harus nikah lagi pokoknya!' waktu itu kakak ada disitu"

"Kok kakak nggak pernah bilang?" tanya Lian

"Ayah yang nggak ngebolehin" sahut ayah

Lave mengusap air matanya yang mengalir deras tapi sikapnya berusaha tenang.

"Kalau misal kalian masih berat untuk ayah nikah lagi, ya sudah tidak apa-apa.."

"Iya ayah, Lovi keberatan! ayah sama kakak jangan egois juga, pikirin Lovi!"

"Mama nyuruh ayah nikah lagi supaya kamu nggak kesepian dan punya mama lagi, Lovi! asal kamu tau itu!" Kata Lave "Mama berkali-kali bilang kalau Lovi harus punya mama sampai dia menikah, itu mama Linda yang bilang. Kita semua sayang sama Lovi, kita nggak berusaha egois"

"Tapi kak..." Lovi diam sejenak "Lovi cuma pengen mama Linda!" lalu dia menangis menutup wajahnya dengan kedua tangan. Tangisnya semakin kencang sampai nafasnya berat. Ayah menghampiri, mengusap kepala lalu memeluk anak gadisnya itu. 

"Yasudah kalau Lovi tidak ingin ada Tante Ratih di rumah ini, cukup ayah saja yang menjadi ayah dan mama buat Lovi, gimana?" tanya Ayah menenagkan, tangisan Lovi semakin kencang

Mereka berempat saling diam untuk beberapa saat, Lian hanya menunduk. Lave mengelus punggung Ayahnya yang masih memeluk Lovi. Lovi tangisnya sudah agak mereda namun masih terisak. Di luar, gerimis mulai turun, angin perlahan masuk di cela jendela dan pintu yang sedikit terbuka. Sesaat udara menjadi dingin membuat bergidik. Sore ini, keputusan ayah sudah bulat. Tidak akan ada mama Linda yang lain untuk anak-anaknya. Ayah sadar, walaupun Lave dan Lian terlihat legowo dengan keputusannya, namun ayah yakin terbesit rasa keberatan jika keputusannya tetap berlanjut.

Biarlah ayah menjadi ayah dan mama untuk Lave, Lian, dan Lovi. "Maafkan aku Linda, aku yakin mereka bisa walupun tanpa mama. Aku tidak mau ada anakkua yang membenciku kalau aku menikah lagi. Akupun begitu, aku tidak mau menyakiti hatiku sendiri karena memang hanya kamu, Linda, yang aku cintai dan aku sayangi sampai kapanpun walaupun ragamu sudah tak ada di sampingku. Aku janji tidak akan menyia-nyiakan anak-anak kita, sebesar dan sedewasa apapun mereka nanti" kata ayah dalam hati. "Lian, Lave sini.. kita sama-sama peluk Lovi.." lambai ayah kepada kedua anaknya. Mereka saling merangkul. Suasana seketika hangat.

"Ayah tidak apa-apa?" kata Lave di sela-sela mereka saling merangkul

"Lave, nanti kalau badan ayah pegel-pegel Lave bisa pijitin ya? kalau Lave udah nikah ya Lovi gantian pijitin, terus Lian.. kalau nanti ayah udah nggak bisa nyetir mobil, anterin ayah ya kalau ayah pengen ke makam mama" kata ayah menenangkan suasana. Lave hanya tersenyum tipis, Lian hanya mengangguk dan Lovi mempererat pelukannya. 


Minggu, 24 Juli 2022

Jatuh Terulang

Sore ini terlihat sangat cerah dari biasanya, perempuan Bernama Adindra berdiri di depan gerbang kampus sambil sesekali melihat jam tangannya. Sudah 5 menit ia berdiri di samping koperasi kampus di sebelah barat gerbang. Berharap dia tak ketinggalan laki-laki incarannya yaitu Dindy. Alih-alih menanyakan tugas kelompok besar di angkatannya di awal maba beberapa bulan lalu, Adindra malah benar-benar jatuh cinta kepada laki-laki yang menyabet gelar mahasiswa teladan di angkatannya. Meskipun Adindra tau mungkin saingannya banyak, tapi memang desas desus si Dindy belum punya pasangan di kampus ini maupun di luar kampus. Kesempatan besar buat Adindra yang biasa dipanggil Adin itu. Apalagi Dindy yang welcome sekali terhadap Adin sehingga membuat Adin merasa PD.

Tak lama seorang laki-laki berjalan menunduk melihat HP sambil berjalan pelan menuju arah gerbang, hati Adin berdesir senyumnya merekah dia berjalan menyambut Dindy.

“Hai Din” sapa Adin

“Oh iya hai, oh mau bahas tugas kemarin ya? Gampang deh nanti aku share di grup WA pembagian tugas ketiga ini, anggotanya tetap toh? Rama dari kelas B tadi juga tanya”

“Oooh iya.. baiklah kalau begitu, jadi langsung dibahas di grup WA aja ya? Aku kira langsung kumpul”

“Kita bahas di WA dulu, kalua memungkinkan besok kumpul ya mari lah kita berkumpul. Oke?”

“Oke. Mau langsung pulang?” tanya Adin

“Iya nih, mau ngerjain tugas kelas dulu ampun banyak banget hahaha” katanya sambal tertawa sehingga membuat matanya terlihat tambah sipit, Adin senyum-senyum sendiri

“Oke deh kalau gitu, oh iya Din mau bareng nggak?” tanya Adin nggak mikir dulu, dia agak malu kenapa kata-kata itu keluar

“Oh, emm aku bareng temen kok ini lagi nungguin kamu duluan aja deh. Kapan-kapan aja deh bareng hehe” Adin tersenyum sambil mengangguk hatinya berbunga, Dindy sangat membuka harapan besar padanya

Setelah perpisahan di sore itu, Adin berharap Dindy segera menunjukkan hal yang paling besar tentang penerimaannya terhadap Adin sehingga rasa ragu di hati Adin terhadap Dindy tidak ada. Apalagi Dindy adalah orang yang sering menghiasi bunga tidurnya akhir-akhir ini.

***

“Si Faruq suka banget emang ya ‘mematikan’ temannya waktu presentasi gitu, pertanyaannya tuh selalu menjebak gitu loh, dasar! Pengen dianggep pintar bangett pasti deh sama Pak Tian” omel Ghea sesaat setelah presentasi mata kuliah psikologi berlangsung

“Ya biarin deh biar seneng, tapi kan semua pertanyaannya udah kamu tebas habis Ghe..” kata Jaehan menenangkan, perempuan manis nan cerdas berlesung pipit

“Ya tapi kan untungnya kamu bantu jawab, Jae” Ghea sambil membuka bungkus roti di depannya

“Di setiap kelas pasti ada aja kok mahasiswa modelan kayak Faruq gitu, mau pindah kelas pun pasti nemu aja” kata Adin bersiap membuka nasi bungkusnya

Saat ini adalah waktu ishoma, mereka bertiga memilih makan di kelas daripada di kantin karena sama-sama tidak suka keramaian. Ya, kampus ini tidak jauh beda dengan sekolah SMP atau SMA. Berangkat pagi, pakai seragam, siang ishoma, dan pulang pukul 16.00.

“Di kelas A yang bisa ketebak sih kayanya si Dindy deh, pasti dia kalau ada temennya presentasi dijebak kayak gitu” kata Ghea lagi

“Ah nggaklah, nggak mungkin. Dindy nggak kayak gitu kok” timpal Adin sambil menyodorkan nasi bungkus ke Jaehan. Adin kalau makan sedikit, jadi setiap makan siang dia selalu paruhan sama Jaehan.

“Nggak semua orang yang dkenal ‘pintar’ oleh kita itu sama sifatnya kayak Faruq..” kata Jaehan yang kini menyodorkan nasi bungkus itu ke Adin, iya mereka makan gentian setiap satu sendok -tapi sendoknya sendiri sendiri minta ke ibu Ida yang jual nasi-

“Dindy itu orangnya baik banget kok” bela Adin

“Jangan sok tau, nggak pernah sekelas juga” kata Ghea

“Aku udah 3 kali sekelompok sama dia di kelompok besar”

“Yaelah Cuma sekelompok doang”

“Yaudah bentar lagi bakal aku jadiin pacar aku! Week” ledek Adin ke Ghea “lagian dia itu tipe aku banget sih, dia itu welcome banget orangnya, gimana aku mau mundur coba hahaahha”

“Din..” panggil Jaehan

“Hmmmm” jawab Adin

“Nggak apa-apa, habisin deh nasinya aku mau ke kamar mandi dulu”

***

“Baik, jadi tugasnya udah aku bagi ya. Apa ada usulan lagi temen-temen?” Dindy menutup pertemuan dengan kelompok besarnya untuk tugas mata kuliah kewarganegaraan yang disana juga ada Adin

“Setuju deh, Din. Besok langsung ke perpus aja kalau bisa pas ishoma kita ngerjain di sana” usul Rama diikuti anggukan teman-teman yang lain

Pukul 16.45, satu-satu dari mereka berpamitan pulang. Tinggallah Adin dan Dindy, Adin berencana menawarkan tumpangan lagi ke Dindy. Emang perempuan satu ini kalau sudah maunya….

“Din, mau bareng nggak? Kebetulan mau beli bensin dulu ke POM deket perumahan kamu lo..” tawar Adin

“Emm gimana yaa aku soalnya udah ditunggu…”

“Oh ada janji?”

“Oh bukan janji sih, tapi…”

Beberapa saat kemudian Jaehan menghampiri mereka berdua dari depan ruang TU di bawah tangga.

“Nah itu dia” kata Dindy, Adin menyernyitkan dahi “aku pulang sama Jae, hehe”

Adin terkejut. Kok bisa.. pikirnya

“Adin..” sapa Jaehan “Dindy kamu tunggu depan gerbang aja ya” pinta Jaehan diikuti anggukan dari Dindy sambil tersenyum ke Jae

“Kamu..pulang bareng..Dindy..kok bisa?”

“Maafin aku Din, aku emang belum cerita. Sungguh bukan karena aku mau menutup-nutupi, tapi..”

“Kalian jadian?” tanya Adin dengan tatapan kosong

“Oh..eeeee, Din ini diluar rencana ya… beberapa kali Dindy tuh tanya rumahku dimana, alamat lengkapnya terutama. Alasan dia dulu mau buat proposal bareng buat pemilihan mahasiswa teladan, awalnya menurutku nggak  masuk akal, Din.. tapi dia beneran ke rumah untuk pertama kali. Dan dia ke rumah lagi untuk yang kedua kali tepat 1 minggu yang lalu dan langsung minta ijin ke orang tuaku, Din”

Adin diam. Tidak ada ekspresi, wajahnya kaku. Jaehan yang manis memasang wajah khawatir. Dia khawatir menyakiti hati temannya itu.

Lalu kemudian “HAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHA” Adin tertawa keras, Jaehan kaget

“HAHAHAHAHAHHAHA” sambil menepuk Pundak Jaehan “Syukurlah kalau begitu Jaeeeee….laki-laki yang sangat tepat, seeekaaaliiii…hahahahah” Kembali Adin  tertawa tapi di sudut matanya ada setitik air mata “ Aduh aku sampe terharu nih, kamu kenapa tegang gitu sih ngomongnya? Yang seneng dong..ini kan berita bagus”

“A..aku takut kamu sakit hati tau…” tiba-tiba Jaehan memeluk Adin, Adin bingung dan ingin menangis tapi dia tahan. Dindy melihat heran dari kejauhan “kamu sih tadi siang bilang gitu, kan aku kira kamu emang suka sama Dindy” Jaehan melepaskan pelukannya dan mengusap air matanya

“Ah itu mah bercanda doang..nggak ada maksud apa-apa, biar mencairkan suasana aja kaliii”

“Beneran nih” Adin mengangguk

“Selamat yaa, Jae.. harusnya kamu kasih tau aku dulu pasti aku langsung traktir ahahha”

“Hehe belum waktunya aja, Din”

“Yaudah deh hati-hati kalau pulang. Aku juga mau pulang mau maghrib soalnya”

Jaehan  melambaikan tangan sambil berlalu diikuti Dindy dan dibalas oleh Adin dari kejauhan.

***

“YA TUHAAANNNN KENAPA BERULANG LAGII KEJADIAN KAYAK GINI YA TUHAAANN HAHAHAHAHAHA” teriak Adin di balik helm dan masker yang ia pakai saat mengendarai motor untuk pulang. Dia tidak peduli jika ada yang mendengar “BODO AMAAATTTT” katanya pada diri sendiri

“YA TUHAAANNNNN AKU UDAH NGGAK SANGGUP NANGIS LAGIIII, MAU KETAWA JUGA NGGAK BISA YA TUHAANNNN” dia mengendarai dengan kecepatan sedikit kencang, air matanya mengalir deras helmnya agak berembun, lalu dia melambatkan motornya dan bergeming sekali lagi “Ya Tuhan.. kasih sabar buat hambaMu ini” dia mengusap air matanya, lalu menutup kaca helm Kembali. Dia mengendarai dengan pelan, dengan tatapan kosong.

“Aku trauma untuk jatuh cinta lagi kalau begini” dia bergeming lagi

Gerimis tiba-tiba datang, gemuruh dari langit samar-samar terrdengar. Cuaca mendung, seakan mengerti perasaan Adindra.

***

Jumat, 08 Juli 2022

Lambang dan Bilang

Secercah Sinar mentari mulai menyeruak dari ufuk timur. Alun alun kota yang tadinya hanya beberapa orang saja kini mulai berdatangan mulai dari muda mudi, pasangan muda dengan anaknya yang kecil, sampai dengan sepasang lansia. Orang orang yang berjualan juga mulai sudah tak kelihatan batang hidungnya karena pembeli yang menyeruak menyerbu dagangannya. Di sisi barat depan pendopo tak kalah ramai dengan pemandangan sepeda berjejer dengan pemiliknya yang saling mengobrol menunggu teman teman pesepeda lain. Di depan gedung pemerintahan komunitas skateboard juga mulai beraksi dengan penonton dari berbagai sisi, ada yang sambil mengambil gambar dan ada yang sembari memakan roti juga minum teh manis.

Pemandangan khas alun alun kota pada akhir pekan.

Ia terus berlari kecil, Keringat mulai mengucur dibalik pakaiannya. Sesekali mengusap dahi dan melihat jam tangan. "Masih jam 6, udah cerah banget" bisiknya kepada diri sendiri. Dia berhenti sejenak untuk membenarkan tali sepatu yang kendor. Lalu berjalan santai menikmati lagu yang berbunyi di telinga yang mengalir dari telepon genggamnya. Ia melewati depan taman playground, lalu langkahnya terhenti karena bola warna biru datang pelan menghampirinya dan berhenti tepat di ujung kakinya.

"Mbak mbak lempar sini mbak" kata segerombolan anak di balik pagar. Lalu dia melempar bola tersebut dan anak anak itu kembali bermain bola. Sesekali ia menoleh ke belakang, mungkin ada teman yang ia kenal. Tidak ada. Ia melanjutkan

langkahnya sampai seseorang menyalip, laki laki itu berlari kecil sambil meliriknya. Dia melihat laki laki itu yang sekarang berjalan di depannya. "Kayak pernah ketemu" pikirnya. Gantian dia menyalip laki laki itu dengan berlari kecil, dia rasakan laki laki tersebut mengikutinya dengan berlari kecil juga. Dia menyernyitkan dahi, lalu dia berhenti dan menoleh ke belakang yang ternyata laki laki itu berhenti juga di belakangnya. Dia mempercepat langkahnya, laki laki itu menyalipnya dan berhenti mendadak sehingga membuatnya kaget.

"Permisi mas" katanya berusaha menyalip

"Bilang..." lalu dia menoleh

"Siapa ya?" Tanyanya

"Ooo lupa yaa, pantesan" dengan terus menatap laki laki itu. "Bilang Handoko kan?" Sapanya lagi

"Bilang Cinta Putri Handoko" jelasnya

"Weeiisss siiaapp heheheh, kenalan lagi deh, Lambang" katanya sambil menyulurkan tangan

"Lambang Cipta???" Perempuan bernama Bilang itu terbelalak, dia adalah sosok yang ia kenal 2 tahun lalu di festival literasi di kotanya, sosok yang mengalihkan pandangannya dan perhatiannya pada Alingga -pacarnya saat itu-. Bukan karena Lambang berpenampilan menarik -karena saat itu postur tubuh Lambang bisa dikatakan besar- tapi karena gaya berpikirnya yang Bilang suka.

"Tapi..gimana bisa?" Bilang memandangi dari atas sampai bawah penampilan Lambang yang sekarang lebih mirip perawakan anak Polisi atau tentara

"Harus dong, demi pulang ke kota ini, dan ketemu kamu" katanya sambil nyengir "Sibuk nggak? Ngobrol dulu yuk.." Bilang tetap tak mengubah posisinya, air mukanya seketika berubah "Oh maaf, apa kamu sama pacar kamu? Atau jangan jangan sama suami kamu?" Bilang menggeleng cepat

"Nggak kok, aku nggak punya pacar sekarang, belum nikah juga" Bilang hanya tak enak hati dengan Lambang karena kejadian saat itu

"Oo yaudah, ayok, kutraktir roti bakar deh" Lambang melangkah menuju kursi taman di sisi utara dan Bilang mengikutinya di belakang. "Tunggu sini ya, bentar aja" Bilang mengangguk datar

"Kok bisa sih ketemu lagi? Aku nggak enak banget lagi sama dia, padahal udah kulupakan semuanya, GIMANA BISAAA huuu pengen nangis aja rasanya"

2 tahun lalu, saat Alingga mengetahui

hubungan pertemanan Bilang dan Lambang yang semakin dekat -walaupun hanya sekedar bertukar pikiran tentang dunia yang disukainya yaitu literasi- diam diam menemui Lambang dan mengatakan bahwa sejujurnya Alingga tidak suka kalau dia berteman dengan Bilang kalau terlalu dekat seperti itu. Lambang hanya menjelaskan bahwa antara dia dan Bilang tidak pernah ada obrolan melebihi itu. Walaupun sebenarnya bohong. Ya, Lambang pernah berkata kepada Bilang bahwa "Bil, aku suka sama kamu, nikah yuk Bil". Yang kemudian membuat hati Bilang semakin bimbang. Mereka yang saat itu sudah beranjak dewasa, sama sama sudah memiliki pekerjaan dengan usia yang sudah cukup untuk awal memasuki biduk rumah tangga membuat hati kecil Bilang berkata bahwa "perempuan mana yang nggak pingin dikasih kejelasan hubungan,

sedangkan usiaku sudah dewasa seperti ini". Alingga mulai curiga dengan gerak gerik Bilang dan Lambang sehingga ingin meluruskan itu semua. "Iya oke baiklah kalau begitu, kamu tau kan kalau aku sama Bilang sudah jalan 4 tahun, kita udah berencana untuk menikah" kata Alingga. Lambang mengangguk, "ya jelas aku tau, Bilang sudah memberitahuku bahwa kalian akan menjalani hubungan yang lebih serius". Kali ini Lambang berkata jujur, Bilang saat itu memang tidak mau meninggalkan Alingga yang sangat sayang padanya. Sampai setelah Alingga menemui Lambang, laki laki itu menuju rumah Bilang dan berkata jujur. "Sebelumnya maaf ya, aku nggak bermaksud masuk diantara kalian, aku tau kalian saling sayang. Bil, apa yang aku katakan waktu itu emang bener aku pingin ngajak kamu nikah, tapi.. Alingga nggak mungkin bisa

ngelepasin kamu karena dia sendiri kemarin bilang ke aku kalau mau nikain kamu dalam waktu dekat ini. Iya Bil, kemarin Alingga nemuin aku, mungkin karena rasa sayangnya dia ke kamu jadi dia khawatir kamu aku bawa kabur. Aku minta tolong kamu jangan marah ke Alingga, nggak ada yang mau keadaan kayak gini. Kamu juga sebagai perempuan sudah bener kok, bilang ke aku kalau kamu juga nggak mau kehilangan Alingga, mungkin aku aja yang terlalu baper ke pertemanan ini" perkataan Lambang malah menjadi sebuah ganjalan dihatinya, apa mungkin ia berkata ke Lambang kalau akhir akhir ini Alingga mulai berubah yang membuat Bilang ragu meneruskan hubungannya, tapi, kalau Alingga memang berubah ngapain Alingga menemui Lambang yang alih alih meluruskan bahwa "Bilang itu punyaku!"

"Iya aku minta maaf sebelumnya, aku juga selama ini berteman sama kamu nggak bermaksud supaya kamu tertarik ke aku. Dengan perlakuanku ke kamu dengan guyonanku ke kamu, aku nggak bermaksud. Aku cocok sama kamu karena aku tertarik dengan caramu memperlakukan teman, Lambang" kata Bilang sedikir berkaca kaca. Bagaimana pun dia tidak bisa berkata bohong. Lambang menarik hatinya sejak pertemuan awal, dan Alingga adalah orang pertama yang membuatnya luluh pada waktu itu.

Besoknya Alingga menelfon Bilang pagi pagi. Bilang yang waktu itu masih sibuk mengurus ibunya yang sakit jadi tidak mengangkat telpon dari Alingga. 8 panggilan tidak terjawab, akhirnya Alingga mengirim pesan.

"Bil, aku minta maaf sebelumnya. Aku cuma mau ngelurusin aja, sebenernya kamu anggap apa hubungan kita ini? Aku kemarin pulang dari Jakarta hanya untuk menemui Lambang dan mengambil barang barangku lebih banyak lagi untuk ku bawa kesana. Maaf Bil, aku nggak sanggup nemuin kamu karena setelah menemui Lambang, aku tau bahwa dia nggak mau kehilangan kamu dan kamu terlanjur memberi harapan banyak ke dia. Kalau kamu sudah nggak sayang sama aku, nggak apa apa. Hubungan yang lama nggak menjamin kamu selalu sayang ke aku. Aku udah membaca kamu mulai ragu sama hubungan ini, jadi aku mundur saja. Makasih udah nemenin 4 tahun ini" begitu kurang lebih isi pesan Alingga, yang dibaca 1 jam kemudian oleh Bilang. Perempuan itu terduduk di pojok kamar tidurnya, diam. "Secepat itu? Kita bahkan belum

menyelesaikan masalah ini, kamu bilang gitu, Ngga?" Bilang mulai berkaca kaca. Bilang mencoba menelfon Alingga, tidak diangkat juga. Dan Bilang mengirim pesan.

"Ngga, aku nggak pernah sekalipun ngeraguin kamu, apalagi hubungan ini. Kamu kenapa, Ngga? Lambang itu temen aku. Kita ini udah dewasa, kan bisa kita selesaikan baik baik, kamu temuin aku dan kita ngobrol bareng. Alingga, aku minta maaf kalau punya salah, aku bikin kamu nggak nyaman ya? Maafin aku ngga, aku serahin ke kamu sepenuhnya. Aku bukannya nggak sayang, asal kamu tau aku juga nggak pernah ragu. Kalau kehendakmu untuk mengakhiri hubungan ini ya aku bisa apa, mungkin memang butuh waktu untuk berfikir. Kalau memang kita jodoh aku yakin kita bakal menjalin hubungan lagi. Hati hati di Jakarta ya, Ngga" seketika itu Bilang langsung

menangis sampai sesak menyusup dadanya. Jika Alingga sudah berkata seperti itu, artinya sudah tidak ada usaha apapun dari laki laki bernama Alingga untuk hubungan ini lalu untuk apa Bilang berusaha mengembalikan perasaan Alingga lagi? begitu pikir Bilang walaupun sebenarnya sedikit egois. Yang Bilang yakini bahwa rusaknya suatu hubungan bukan karena kesalahan satu orang saja, tapi dua orang di dalamnya. Kalau memang sebetulnya Alingga yang tidak nyaman dengan Bilang karena sikap Bilang, ya itu sudah menjadi hal wajar untuk diakhirinya suatu hubungan.

Tak lama kemudian ada telfon masuk, Lambang. Ia mengangkat telpon itu, tapi tak ada sapaan awal darinya.

"Bil, maaf langsung telfon ya.. ndadak. Maaf ganggu waktu kamu, Bil doa in aku yaa aku hari ini di pindah ke luar kota. Nanti

jam 2 aku berangkat ke Bandung. Mungkin dalam waktu yang lama aku nggak balik kesini Bil. Bil.. kok diem sih"

"Harus ya.." katanya lirih

"Iya lah, harusss, kan emang cita citaku buat dipindah ke Bandung hahhahaha, yaudah cuman mau pamit. Kamu baik baik ya, eh tapi maaf maaf nih.. sedih sebenernya mau ngomong, kalau kamu sama Alingga nanti nikah...emmm jangan lupa aku dikabarin yaa, nanti ku video call aja karena aku nggk bisa dateng hahahha"

"Jahat banget"

"Yaudah deh, aku mau ke rumah eyang dulu mau pamitan sekalian berangkat ke bandara, bye Bil..." klik"Aku benar benar harus kehilangan dua duanya ya?" Tanyanya lagi ke diri sendiri matanya sembab, hatinya penuh sesak, mau marah tapi ke siapa. Tiba tiba dari luar, Lintang, adiknya berteriak "Mbak Biiilaaanggg, Bunda mbakkk...."

Bilang terperanjat, bergegas menuju kamar bundanya, yang sudah ada ayah, Om, tante, dan Lintang sambil nangis. Pandangan Bilang fokus ke Ayah yang membisikkan sesuatu ke telinga bunda yang sudah pucat pasi dengan mata tertutup dan sedikit tersenyum, seketika dunia gelap. Hanya suara teriakan lagi yang terdengar.

Bukan hanya kehilangan dua, dia kehilangan tiga.

***

Lambang kembali ke tempat duduk sambil membawa roti bakar dan air mineral.

"Nih, satu satu, dikit kok kalorinya..hahah"

"Itungan dari mana" Bilang mengambil roti bakar lalu memakan satu suapan

"Gimana bisa, Bil?" Tanya Lambang

"Apanya?"

"Emm maaf, Alingga.."

"Oooh" melanjutkan makan roti "ya bisa, emang udah jalannya"

"Putusnya baru baru ini?"

"Nggak, udah 2 tahun yang lalu"

"Maksudmu?" Lambang memandang Bilang

"Kita putus, saat kamu juga berangkat ke Bandung DAN SETELAH ITU NGGAKKKK ADA KABAR SAMA SEKALI SELAMA 2 TAHUN. Teman macam apa" Bilang berusaha tetap tenang "dan kita putus di hari yang sama saat bundaku meninggal, ngeri banget kejadian hari itu"

Lambang terdiam, memainkan tutup botol air mineralnya, "maaf" katanya

"Mana mungkin aku maafin"

"Aku emang sengaja ganti nomer, sosial mediaku juga aku off in, aku ganti akun,

tapi aku simpen nomer kamu kok.. tapi, nggak berani hubungin aja"

"Ku kira malah kamu udah nikah"

"Mana mungkin aku nikah, sedangkan nggak ada cewek Bandung satupun yang kecantol sama aku, resek kan?"

Bilang tertawa kecil "kurang caper kalik kamu" mereka tertawa "terus dalam rangka apa kamu balik kesini?"

"Aku dapet cuti 1 bulan, lumayanlah, buat mengenang masa lalu disini hahhaha, eh tau tau mengenang beneran, buktinya ketemu kamu disini"

"Iya ya, kok bisa ya"

"Terus Bil, kenapa kamu juga nggak berusaha menjalin hubungan lagi sama Lingga? Maaf nih tanya tanya"

"Aku bakal bisa dan mau balik sama Lingga kalau alasan kita udahan hanya karena kita salah paham aja Lambang, tapi aku NGGAK BAKALAN balik lagi sama Alingga kalau

ternyata alasannya dia udah nemuin orang yang ASIK DAN MENARIK selain aku" katanya dengan tatapan tajam lurus ke depan

"Lebih jelas lagi coba, bingung aku"

"Selama di Jakarta, ternyata dia udah deket sama temen kerjanya disana, sebenernya pas Alingga nemuin kamu waktu itu itu dia udah berubah banget ke aku, dan dia nemuin kamu cuman mau mastiin apa aku sama kamu emang ada MAIN apa nggak sehingga dia bisa kuat alasannya buat mutusin aku, dia juga nggak mampir ke rumah sama sekali waktu itu. Dia..seminggu setelah aku sama dia udahan.. dia udah berani pasang foto cewek, dan itu nggak sekali dua kali, itu berkali kali. Like a child! Tau nggak. Perasaanku hancur banget waktu itu, gimana nggak? Alingga yang kukenal dia itu nggak neko neko orangnya sekali bilang

udahan eh udahan beneran dan berani banget posting gitu. Kalau emang nggak sayang kan udah bilang aja gitu.. nggak usah pake alasan yang lain" kata Bilang menggebu gebu "Hahahahah tapi ya udahlah, udah terjadi juga. Aku juga sekarang nggak kepo sama kehidupan dia, cuman kalau suatu hari ketemu ya kusapa aja sebagai teman. Karena aku yakin bahwa...permasalahan suatu hubungan itu bukan hanya keaalahan satu orang, tapi dua orang yang ada di hubungan tersebut"

"Maaf aku nggatau kalau ceritanya gitu, terus kenapa nggak coba cari pengganti Alingga?"

"Masih belum kepikiran aja sih"

"Belum kepikirannya selama 2 tahun?" Lambang dan Bilang tertawa

Mereka sibuk menghabiskan roti bakar, dan sesekali membahas pekerjaan.

Waktu sudah menunjukkan pukul 09.00,

matahari mulai sedikit meninggi. Lalu lalang kendaraan sudah mulai terlihat di jalanan artinya Car Free Day sudah selesai. Pejalan kaki juga sudah mulai surut.

"Jadi gimana Bil?" Tanya Lambang

"Apanya?"

"Ya kejelasannya, waktu itu kan belum kamu jawab dengan lurus dan benar"

"Yang mana?"

"Coba deh.. inget inget lagi gitu"

"Males mikir, rotinya kurang banyak"

"Hahahahahah"

Lalu Lambang berdiri di depan Bilang, laki laki yang bertinggi 171 cm itu terlihat sangat tampan membelakangi matahari dengan kaos polos berwarna biru tua waktu itu.

"Sekarang udah jam 9 nih, berarti anggep aja udah 2 tahun 9 jam nih belum ada jawaban pasti"

"Yang apa.. yang apa? Maksa banget lagi 2 tahun 9 jam??" Tanya Bilang agak ngambek

"Terserah aku dong hahaha, Kamu mau nggak nih, nikah sama aku?"

Bilang diam, melihat kanan kiri takut ada yang mendengar.

"Gimana nih Bil, kalau nggak dijawab aku mau pulang aja nih, ke Bandung" Bilang diam, dia menghela nafas, menyandar ke bangku dan menghabiskan air mineralnya. Dengan cepat ia menginjak kaki Lambang, Lambang kesakitan. Lalu Bilang berdiri, menggenggam tangan Lambang dan menariknya untuk berlari. Lambang tertawa lepas, diikuti Bilang. Entah berapa orang yang sedang melihat mereka, yang jelas penantian 2 tahun 9 jam -menurut Lambang- ini sudah terjawab jelas di depan mata Lambang.

 

Selesai.

Cerita 3

 

Run!

Hari ini Runa cabut lebih awal dari dunia ketik mengetiknya di gazebo sekolah karena ada janji dengan Verdian di perpustakaan umum. Verdian bermaksud akan menggarap drama musikal dengan Runa untuk acara perpisahan nanti. Tentu bukan sepatu. Runa agak kecewa karena ternyata bukan sepatu Verdian yang tertukar dengannya.

 

Berarti Verdian bukan jodohku dong, eiiyuuuh            

 Ya, Runa suka sekali mengginggau.

Verdian calling..

“Hallo Run, dimana?”

“Baru keluar gerbang, nunggu angkot. Eh itu ada angkot deh kayaknya. Kamu di lantai 2?

“Baru keluar gang juga hehe, yaudah kabarin deh nanti. Eh eh aku juga ajak Tania sama Umar buat bahas drama nanti, sebelumnya kan mereka pernah ikut acara gitu juga”

OOooh aku kira cuman berdua. Yayayayaa….

“Oke deh” jawab Runa singkat

Klik.

Angkot berangkat, mungkin 10 menit lagi Runa akan menemui Verdian.

Runa memainkan kakinya, hari ini dia memakai sepatu yang kemarin tertukar, Sebelah kanan ukuran 39 sebelah kiri ukuran 41.

Yang penting aku pakai sepatu dari Kian hihihi

***

Aarun duduk di teras rumah sambil memakai sepatu kets putih pellet merah di sepatu kirinya dan sepatu kets abu-abu dengan pellet merah juga untuk kaki kanannya. Dia melihat sekali lagi kakinya, “hahaha lucu juga”. Dia juga kembali membuka tasnya yang ada sepatu kets abu-abu ukuran 39 yang entah punya siapa.

“Idih, ngapain sepatu yang itu dibawa juga?” Tanya mama

“Mau dibuang, nggak jelas punya siapa” jawab Aarun

“Kakimu itu loh nak..aneh, ngapain pakai beda gitu sepatunya? Ya Allah.. Paaa, Aarun ini belikan sepatu aja deh ya..” teriak mama

“Ini model anak muda sekarang ma, udah ah biarin aja, hahaha”

“Lagian kamu, katanya nggak enak badan mau keluar juga. Mau ke sekolah?”

“Mau ke gedung Seni, ada pameran fotografi ma, Aarun berangkat, Assalamualaikum”

“Dengan penampilan seperti itu?? Terserah kamu deh nak.. waalaikumsalam” mama geleng-geleng

15 menit kemudian, Aarun sudah ada di dalam angkot menuju gedung seni.

Aarun memainkan HP yang sesaat kemudian ..

Darrrrr..!!!

Lalu angkot oleng, dan melipir ke kiri. Ternyata bannya meletus. Penumpang yang saat itu berjumlah 4 orang termasuk Aarun di oper ke angkot lain. Tak lama, ada angkot yang agak sepi melipir ke kiri juga guna menerima operan dari angkot yang ditumpangi Aarun.

Aarun masuk terakhir, memilih duduk di bangku menghadap belakang karena gedung seni tak jauh dari sini. Aarun melihat sekilas perempuan yang dari tadi melihatnya di pojokan sebelah kiri. Saat Aarun melihatnya, perempuan itu memalingkan wajah.

Kayak pernah ketemu..Pikir Aarun.

Saat perempuan itu tak melihatnya, Aarun memandangi dari atas sampai bawah untuk mengenali seragam yang ia pakai, dan tepat sekali perempuan itu dari SMA Satu. Pandangannya terhenti di bagian bawah, sepatu, dia menyernyitkan dahi.

Lah lah itu sepatu…..

Lalu dia memandang sepatu yang ia pakai. Tersadar sudah agak dekat, Aarun berteriak pelan ke pak sopirnya

“Pendopo pak” kata Aarun yang ternyata perempuan itu mengatakan hal yang sama.

“Oooh janjian yaa mas sama mbaknya” sindir pak sopir

Angkot terhenti, Aarun keluar terlebih dahulu setelah membayar, diikuti perempuan itu yang ternyata Runa. Posisi Aarun ada di kanan dan Runa sebelah kiri saat hendak menyebrang, dari sebrang ada suara terdengar. “Run!”

Aarun menoleh ke sebelah kanan, yang berteriak tadi adalah seorang laki-laki berada di depan gedung perpustakaan. Sedangkan Runa menoleh ke sebelah kiri, yang berteriak ada seorang perempuan berada di depan gedung seni. Aarun tak mengenali laki-laki tersebut begitupun Runa, yang tak mengenali perempuan itu. Sekali lagi, “Run!” mereka berdua bingung, tersadar kanan kiri sama-sama memanggil Run.

“Itu temen kamu kah?” kata Aarun

“Iya, yang itu temen kamu?”

“Heem”

“Eh nyebrang dulu yuk” mereka berdua berlari kecil

“Maaf..Run, nama kamu emangnya siapa?” Runa agak kaget, berani beraninya nih anak, pikir Runa

“Aroona, A-R-O-O-N-A” eja Runa

Aarun hanya ketawa

“Kenapa?”

“Nggak apa-apa, kenalin namaku Aaruna. A-A-R-U-N-A” Aarun mengeja

Mereka diam lalu tertawa

“Bisa gitu ya, hahaha” kata Runa

“Nggak tau ya, hahahha”

“Yaudah aku mau ke temenku dulu, bye. Run.. hahaha salam kenal” kata Runa berlalu sambil melambaikan tangan, dibalas oleh Aarun. Aarun hanya tersenyum sembari melihat Runa masuk ke perpustakaan umum.

***

Waktu menunjukkan pukul 13.00, Aarun duduk di pagar tembok depan perpustakaan umum. Siang ini terpantau mendung dari ujung ke ujung, pertanda sebentar lagi hujan. Sesekali melihat jam tangan, dan tak lama kemudian 4 orang keluar dari perpustakaan sambal mengobril dan tertawa. Aarun berdiri, dan disadari oleh Runa yang tiba-tiba terdiam memandang Aarun tersenyum padanya.

“Sono deeeh..yaelaah, kita pulang dulu” dorong Verdian yang menyadari juga, dua teman lainnya hanya tertawa

“Yaudah kalian pulang deh” mereka berempat berpisah, Runa menghampiri Aarun

“Aku nggak mau GR sih sebenernya, tapi lihat kamu lihatin aku jadi kupikir kamu nunggu aku”

“Hahaha iya emang aku nunggu kamu” Runa tertunduk malu, sial, pikirnya. “Aku mau minta pertanggungjawaban kamu”

“Apa?” Tanya Runa heran

Aarun mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya, ya, itu adalah sepatu. Runa tercengan.

“I..ii…itu, sepatunya, kok…” dia menunjuk sepatu yang dipegang Aarun lalu menunjuk sepatu yang dipakainya

“Iya kemarin ketuker, sini balikin punya aku” sambil menahan tawa.”Oh tapi jangan deh jangan” baru saja Runa mau melepaskan sepatu itu, sudah di stop sama Aarun

“Kenapa lagi..”

“Cuci dulu deh, pasti bau. Biar imbang, sepatumu nggak aku kembalikan juga, gimana?”

“Kakiku wangi!”

“Hahahhaahah”

Suara gemuruh dari langit terdengar, rintik hujan mulai turun.

“Lusa hari minggu kita ketemu disini pas CFD, jam 6, dengan catatan sepatuku sudah bersih ya, Run..”

“Ngatur banget ya Anda..” balas Runa, modus juga nih anak, pikirnya

“Eh ada satu lagi” mengeluarkan kertas dari tasnya “nih, baca”

“Apaan lagi nih? Heran yaa” Runa membaca isi kertas itu

 

Maaf, aku tadi nyebrang nggak liat-liat. Maaf ya semoga cepet sembuh.

-arn (aku cewek lo, maafin aku ya)

 

Runa menelan ludah, dia membalik kertasnya

 

ENAK AJA MINTA MAAF DENGAN CARA KAYAK GINI! AKU HARUS NEMUIN KAMU, HARUS MINTA MAAF SENDIRI DIDEPANKU!

-AAR (NGGAK PEDULI CEWEK!)

 

“Emmm kok kamu tau itu aku sih?”

“Hahaha itu gantungan tas kamu inisial a.r.n, So….ayo minta maaf!”

“Itu kejadian hampir setaun, berarti udah lama berlalu,toh kamunya juga nggak kenapa-kenapa kan?”

“Enak aja! Nih” sambil menunjuk dahi sebelah kirinya

“Yak an tapi udah kering juga… yadeehh minta maaf bagindaa..”kata Runa merengek

Tiba-tiba hujan mulai turun.

“Yaudah, Minggu ya jam 6, awas aja kalau nggak dateng!” Aarun berlari meninggalkan Runa

“EH TUNGGU!” teriak Runa, Aarun berhenti

“Tega ninggalin cewek senirian hujan-hujan gini?” mereka terdiam, Runa mendahului berlari lalu Aarun mengikutinya di belakang

Mungkin setelah ini Aarun-Runa akan menjadi AAROONA.

 

-selesai

 

Minggu, 22 Maret 2020

Cerita 2

Aarun: Kenangan

Grreetttt…

Suara gerbang besi warna hitam terseret. Remaja berusia 17 tahun masuk dengan menenteng sepatunya yang basah. Wajahnya yang cool ditambah dengan rambut yang sedikit acak-acakan menambah semakin terlihat…ganteng. Gerimis masih terasa jatuh perlahan menimpa wajahnya saat dia melewati teras rumah. Dia masuk lewat garasi samping rumahnya.

Ayah terlihat mengelap mobil Honda Jazz merahnya.

“Assalamualaikum. Waalaikumsalam” sindir ayah
“Assalamualaikum” mencium tangan ayahnya
“Waalaikumsalam, lesu banget” Tanya ayah
“Nggak apa-apa cuman laper aja, ngedit foto itu nggak kerasa kalau belum makan seharian”
“Yaudah mandi sana terus makan, mama masak capcay”

Aarun tersenyum dan memasang tangan menandakan berkata “sip”. Lalu melemparkan begitu saja sepatu itu di dekat mesin cuci.

Aarun memasuki kamarnya di lantai 2. Duduk sebentar pojokan ranjang.
Kayak pernah tau anak itu, siapa ya? Gumamnya dalam hati. Sekelebat ingatan mulai melewati dalam pikirannya. Sambil melepas seragam sekolahnya sehingga dia hanya memakai kaos polos saja sekarang. Dia berada di depan cermin, memandang sekilas wajahnya. Dia susuri wajah lusuhnya mulai dari ujung rambut, kemudian dahi, alis kanan alis kiri. Wait! Alis kirinya terdapat bekas guratan luka disana. Dia memandang dengan dalam. Mencoba mengingat kejadian itu.
Masa iya itu dia?

“Aaruunnnnn lain kali kalau naruh sepatu jangan dilempar-lempar gitu. Mau mama buang apa?” teriak mama dari bawah. Keras sekali. Hufftttt iya… hanya gumamnya yang hanya dia sendiri yang mendengar
Aarun berbalik badan dan menyambar handuk warna biru tua. Tiba-tiba lupa akan bekas guratan luka di alis sebelah kirinya.
Setelah mandi Aarun langsung menuju meja makan. Capcay kesukaannya sudah disiapkan mamanya.

“Itu sepatunya mau dicuci apa nggak? Kotor gitu digeletakin gitu aja. Besok nggak ke skolahan lagi?” Tanya mama
“Biarin aja deh ma, besok aja aku cuci. Besok ngedit foto di rumah aja. Badan aku juga agak nggak enak”
“Yaudah, banyakin minum air putih dek” mama meninggalkan ruang makan

Sambil makan, Aarun mengutak atik HP nya yang dari tadi berbunyi, diskusi grup “Crew Buku Kenangan SMADA”. Sambil melihat-lihat story WhatsApp, isinya hampir semua kata-kata perpisahan. Sampai pada story milik Linda SMASA (SMA Satu)
Storynya berisi foto hasil screenshoot grup kelasnya dengan caption “yang bener aja ini grup rame gara-gara sepatu ketuker”

“Apaan si nggak jelas banget” lalu Aarun meletakkan HP nya.
“Wooeeee hahaha” Nandra, kaka Aarun, menepuk kedua bahu Aarun dan hampir tersedak
Selalu.. gumam Aarun
“Makan, makan, makan. Eh dek, kameranya di kamu? Masih kamu pake nggak? Kakak mau pinjem, temen kakak besok ada yang tunangan”
“Pake aja, udah selesai kok. Temennya yang tunangan tapi abang yang heboh” sambil terus menyendok makannya
“Ya emang kenapa? cuman mau mengabadikan momen temen, dan momen reuni besok hehe” mulai mengambil nasi
“Padahal belum acara nikahannya..” kata Aarun
“Biarin kenapa si”
“Sama rempongnya sama kak Nanda, kembar, semuaaanya kembar juga” dengan muka cueknya Aarun
“Ngomong apa?”
“Nggak, itu nggak ambil ayamnya? Mau aku ambilin?” Aarun mengalihkan
“Mau deh, satu, eh dua”

Aarun mengambilkan dua potong ayam, lalu beranjak dari tempat duduk dan menuju tempat cuci piring. Cipratan air mengenai wajahnya, Aarun mengusapnya dengan punggung tangannya. Sampai pada alis sebelah kiri dia berhenti. Ohh iya, bekas luka ini.. Buru-buru dia selesaikan cuci piring, dan kembali ke kamar.

Aarun membuka laci kecil di lemari dekat tempat tidurnya. Ada secarik kertas disana, berisi tulisan, tulisannya sangat jelek. Dibuat dengan terburu-buru oleh penulisnya. Inti dari tulisan itu adalah permintaan maaf.

Maaf, aku tadi nyebrang nggak liat-liat. Maaf ya semoga cepet sembuh.
-arn (aku cewek lo, maafin aku ya)

Aarun tertawa pelan, kertas itu ditemukan satu minggu di tasnya setelah dia jatuh dari motor. Di sekitar alun-alun kota, saat dia pulang sekolah tiba-tiba remaja perempuan dengan sama-sama mengenakan seragam sekolah sama sepertinya berkejaran dengan seorang pria seperti di dalam sinetron saja.

*** 

Sore hari satu tahun yang lalu
Aarun mengendarai motor dengan kecepatan sedang, sampai di alun-alun kota ternyata gerimis turun. Takut bertambah deras, Aarun menambah kecepatan motor. Dari jauh ada seseorang mau nyebrang dengan terburu-buru berlari sepertinya mau menyusul seorang laki-laki di depannya.

Tin tiiiin..

Tidak dihiraukan, perempuan itu tetap menyebrang, Aarun membanting setir ke kiri dan ternyata ada kucing juga yang akan nyebrang dari kiri, Aarun semakin tidak bias mengendalikan lalu Brakkk  jatuh menabrak pohon dan tubuhnya jatuh dan kepalanya terbentur pucuk dari trotoar tersebut.

Orang yang pertama kali berlari adalah perempuan itu.

“Maaf maaf kamu nggak apa?” tanyanya
Aarun hanya memandang dengan wajah pucat, mengusap cairan yang mengalir yang ternyata darah dari atas mata sebelah kirinya. Lalu dia tak sadarkan diri.

***

Di balik kertas itu Aarun membalas dengan penuh emosi, pada saat itu.

ENAK AJA MINTA MAAF DENGAN CARA KAYAK GINI! AKU HARUS NEMUIN KAMU, HARUS MINTA MAAF SENDIRI DIDEPANKU!
-AAR (NGGAK PEDULI CEWEK!)

Tiba-tiba Aarun ngakak sendirian di kamar. Bisa-bisanya dia nulis kayak gitu. Aarun geleng-geleng kepala. Hanya satu yang dia pikirkan sekarang, kalau memang anak itu tadi yang nulis pesan ini, aku harus bilang apa dulu ya sama dia?

Tiba-tiba bang Nandra masuk hendak mengambil kamera DSLR di meja dekat jendela.

“Aku ambil ya, eh dipanggil mama. Ada temennya mama, bawa anaknya katanya kenal sama kamu”
“Terus tujuannya manggil aku?”
“Mana gue tauu Bambang, mau dijodohin kali ya” bang Nandra tertawa segera pergi karena menyadari Aarun mulai ngambek dipanggil Bambang.
Tak lama mama memanggil “Aarun, sini turun sebentar dek”
“Iya, bentaar”

Aarun melipat kertas itu, dan mengembalikan di tempat semula.
ARN, kita harus ketemu…

Cerita bersambung.

Sabtu, 21 Maret 2020

Cerita 1


Runa: Sepatu

Temaram jingga muncul tanpa permisi, hawa sejuk berubah menjadi dingin. Suasana gelap mulai menyelimuti ruangan kelas yang   berukuran 5x6 m2 ini. Seorang perempuan masih sibuk memainkan jemarinya diatas keyboard laptop. Dengan earphone yang masih menancap di telinganya. 5 menit yang lalu Nata berpamitan pulang padanya. Dia hanya membalas dengan lambaian tangan taanpa melirik sedikitpun.

Sedetik dia menengok jam tangan. “Udah jam segini aja” gumamnya. Mematikan musik, melepas earphone, mematikan laptop hitamnya. Samar terdengar suara langkah kaki mulai mendekat. Suasana sunyi yang mencekat ketika langkah kaki berhenti di depan pintu kelas. Perempuan berusia 17 tahun itu diam. Memandang dalam, matanya semakin menyipit. Tiba-tiba masuk seorang pria.

“Pak!”
“Mbak! Haduh ngagetin aja”
Lalu mereka berdua tertawa.
“Mbak Runa belum pulang? Mau nginep?” Tanya Pak Ahmad bergurau
“Ini mau pulang kok pak, saya baru sadar kalau sudah jam segini” sambil memasukkan barang-barangnya ke dalam tas
“Pulang mbak, sudah mau malam ini” kata Pak Ahmad penjaga sekolah sambil menghidupkan lampu kelas
“Iya Pak Ahmad”

Pak   Ahmad meninnggalkan kelas disusul dengan Runa di belakangnya.

Pelataran sekolah masih penuh dengan genangan air. Runa berjalan sambil menggiring bola yang tadi dipakai teman-temannya bermain di lapangan saat hujan deras tadi siang. Lalu dia menendang pelan bola hingga pas berhenti di depan ruang olahraga. Dia berjalan menuju gerbang sekolah, tapi malah sepatunya terkena cipratan motor anak OSIS kelas 11 yang baru saja lewat, alas kakinya juga kotor penuh lumpur. Tanpa pikir panjang dia melepas sepatunya, tidak ada kata jijik bagi Runa.

Pas sekali di depan sekolah dia langsung disambut angkot, sepertinya ini angkot terakhir. Angkot ini penuh sesak, hanya bias dimasuki Runa, setelah ini tidak ada yang bisa masuk.

“Permisi ya” kata Runa kepada siswa laki-laki dari SMA 2 di sebelahnya, dan hanya dibalas dengan anggukan

5 menit kemudian siswa laki-laki itu turun di depan perumahan elit, Bintang Residence. Dan tanpa mengucapkan permisi dan maaf padahal kakinya menginjak kaki Runa yang sedikit berkata “Aw”, benar-benar tidak sopan menurut Runa.

Melewati Alun-alun kota, saat senja seperti ini mengingatkannya pada Kian. Kian yang tidak tau sekarang dimana, hanya meninggalkan luka dan kenangan lain yang bersimpuh di lorong masa lalu Runa yang sebenarnya tak ingin Runa ingat.

Sudah satu tahun setelah dia bilang mau nemenin aku sampai kita sama-sama lulus. Mungkin pikiran dia masih labil, mungkin aku juga. Hhh..dia mendesah sendiri dalam hati

“Perumahan Ragam Asri, pak” kata Runa 5 detik kemudian angkot berhenti tepat di depan portal

Dia menenteng sepatunya sambil merogoh saku bajunya hendak membayar. Terdengar suara klakson motor di belakangnya, itu Ari, tetangganya dari blok sebelah dan juga teman kecilnya.

“Ayok bareng” ajak Ari
“Siap” Runa berlari dan meloncat dengan indah di boncengan Ari
“Kok baru pulang, Run?”
“Iya, nanggung tadi aku terusin sampai selesai”
“Kan udah ujian, emang ngapain ke sekolah?”
“Nyusun cerita singkat buat dicantumin ke buku kenangan”
“Oooh gitu”

Motor matic hitam berhenti di depan pagar warna biru tua, yang banyak tergantung bunga anggrek disana.

“Makasih ya Ar, hati-hati dadaaa” kata Runa tertawa lebar sambil melambaikan tangan
“Dasar lebay, tar lagi belok dikit juga sampe”
Mereka berdua tertawa, dan Ari meluncur pelan menuju belokan.
Terburu-buru dia masuk karena akan mencuci sepatunya setelah mandi nanti.
“Mana kering besok kalau dicuci sekarang?”tanta ibu
“Tar lagi aku keringin di mesin cuci, abis itu angin-angin in di kipas angin haha” tertawa lebar
“Dasar, pasti besok bau tuh pas dipake, hiih” ibu bergidik

Runa melanjutkan mencuci sepatu, tanpa disadari di dalamnya ada ada gumpalan kertas.

“Kertas?” lalu dia keluarkan gumpalan kertas itu
“Aku nggak pernah naruh kertas disini” terheran
“Sebentar, kok warna tali spatunya abu-abu sih? Bukannya punyaku warna putih? Tapi satunya bener warna putih” dia terus memandang septau canvas warna abu-abu tua  berpelet merah tersebut
“Sebentar-sebentar” lalu dia pakai sepatu itu karena menyadari dari sekedar melihat saja ukurannya sudah beda
“Kok besar banget. Ha? 41? Ukuranku kan 39, nah ini satunya bener” tersadar saat dia lihat nomor sepatu di bagian bawah
“Ini sepatu siapa? Punyaku satunya mana”

Itu kan waktu aku beli sama Kian, sedih banget sii..masa ketuker? Sama siapa? Dia bergumam dalam hati

“Cepet deh kalau mau dikeringin, malah nongkrong” kata ibu
“Buk..”
“Hmm”
“Ini sepatuku, tapi kayaknya bukan sepatuku deh”
“Maksudnya?”
“Satu sama lainnya ukurannya beda, liat deh” Runa menunjukkan kepada ibunya
“Sama, kok”
“Bedaaa” Runa merengek
“Kamu sih, ada-ada aja pulang pake nenteng sepatu segala”
“Kotor buu.. basah”
“Nggaktau deh, cari sendiri” ibu beralih

Runa bengong.

Itu sepatu dibeliin Kian… Apa ibu-ibu habis senam tadi di angkot ya tega nuker sepatuku? Sepatunya kan tadi kayaknya juga basah, tapi, tapi masa tega sih sama anak sekolah. Kemana ya?

“Ibuuuuuk” panggil Runa
“Apa??” sahut ibu dari dapur
“Sepatukuuuu”
“Cari sendiriiii”
“Ibuuuuuk, itu sepatu dibeliin Kiaaaan” Runa merengek
“SIAPA ITU KIAN?” sambil mengangkat wajan berukuran kecil
Runa teriam. Langsung ngacir. Lari menuju mesin cuci.
“SIAPA ITU KIAN? Runaaaa?”

Yaaah ketahuan..

­Di kamar..
Grup WA: XII IPS 1, Runa mengetik…
Diberitahukan kepada teman-teman yang tadi ke sekolah dan sholat ashar bareng aku di mushollah dan ternyata sepatunya tertukar, mohon besok menemui saya karena saya juga baru sadar kalau sepatu saya mungkin tertukar dengan salah satu dengan kalian. Terimakasih.
Dinda : sepatu apaan? Liat
Runa: (foto)
Nata: OOooh sepatu yang dibeliin mantan? Biarin aja deeh haha
Wina: Wkwk mantan yaudah mantan aja
Yanuar: Lupain aja deh Run..
Runa: KOK JADI BAHAS INI SII, BAHAS SEPATUUUU
Verdian: Apakah besok kita bertemu, Run?
Umar: Kalean yang nggak bersangkutan minggir, biarin Runa dan Verdian..haha
Runa: terimakasih perhatiannya teman2, sekian

Kok jadi verdian yang jawab si. Sedih banget. Masa iya ini sepatunya Verdian? Apa iya? Apa iya dia jodohku? 

Mulai mengginggau

Tak lama HP nya berdering.
Verdian calling…
Huaaaaa……

Cerita bersambung.

Minggu, 25 September 2016

Malam Minggu Kliwon




Sore hari ini masih terlihat mendung. Pelataran sekolah masih basah sisa hujan tadi siang yang menghambat jalannya upacara pembukaan Persami. Hawa dinginpun juga masih terasa memaksa memelukku. Entah kenapa sore ini menurutku sore yang paling mencekam. Aku bergidik. Suasana hening. Padahal aku sedang bersama teman-temanku di kamar mandi saat ini. Waktu istirahat kurang satu jam lagi, sedang aku masih belum ada tanda-tanda akan segera mandi dan bersiap mengikuti jelajah medan pukul setengah lima nanti.
Aku masih berdiri diantara teman-temanku, sampai sesaat kemudian aku mendengar desas desus dari kelompok lain bahwa malam ini adalah malam Minggu kliwon. Apa yang aneh dari Minggu kliwon? Kataku dalam hati. Tak kuhiraukan omongan mereka, aku tidak terlalu percaya tahayul, jadi aku tidak begitu menghiraukan. Sampai akhirnya aku tertarik saat salah satu dari mereka berkata,”malam Minggu kliwon itu malam dimana penunggu sekolah ini berkeliaran” kata salah satu dari mereka dengan tetap menjaga nada suaranya.”Mereka ada di dalam situ tuh, di belakang” mereka menunjuk arah sumur belakang kamar mandi. Sumur yang ditutup, tapi menyisakan lubang kecil di tepinya, suasananya ganjil, udaranya berat. Dengan tetap menjaga suaranya, seakan-akan mereka  takut kalau yang dibicarakan (tak lain adalah si penunggu sekolah)keluar dan datang. Selanjutnya suasana agak gaduh karena gosip yang disebarkan oleh kelompok seberang tersebut.
Aku tetap mendengus pelan. Pasti juga akal-akalan kakak pembina, biar suasana jadi lebih heboh, mereka selalu mencari  cara untuk menakut-nakuti kita.
“Ranti, nanti aku mandi bareng kamu ya?” pinta Yohana padaku.
“Ih! Nggak ah sendiri-sendiri aja” aku menolak dengan risih.
“Ayo dong, Ran, aku takut kalau sendirian. Nanti aku di datangin sama hantu penunggu sekolah ini” Yohana merengek. Aku mendengus pelan dan hanya diam. Tak tahu jalan fikiran sahabatku yang satu ini.  Dasar penakut, pikirku.
“Kalau kamu takut nanti hantunya malah seneng godain kamu. Udah ah, nggak usah takut gitu. Ini pasti cuman akal-akalan kakak pembina biar kita ngerasa takut!” seketika itu pula sekelompok orang yang menyebarkan gosip tadi memandangku tajam seakan-akan berkata ‘hati-hati kalau bicara!’. Aku tak peduli, aku yakin kalau ini hanya rekayasa. Sedangkan Yohana masih memasang wajah penuh memohon kepadaku. ”Yaudah, kita mandi bareng” seketika itu wajah Yohana terlihat lebih lega.
“Adek-adek, waktu istirahat kurang 45 menit lagi. Berhubung sepertinya banyak yang masih antri, dimohon agak dipercepat mandinya karena tidak ada tambahan waktu. Dan sekali lagi, dihimbau untuk adik-adik sekalian agar menjaga ucapan maupun tingkah lakunya, diharapkan tidak membuang sampah sembarangan. Permisi” kak Naura salah satu pembina kemudian pergi dengan diikuti paduan suara kecil ‘iya kak’. Kemudian suasana menjadi hening kembali.
Tiba saatnya aku dan Yohana mendapat jatah untuk mandi. ”Kita tetep gantian mandinya. Kamu dulu deh, aku yang hadap tembok” pintaku pada Yohana. Dan memasang posisi seperti yang kukatakan tadi. Balik kanan dan menghadap tembok tua yang sudah usang dan berlumut.
“Aku nggak jadi mandi deh, kasian yang antri masih banyak. Aku cuci muka aja” kata Yohana sambil mengeluarkan sabun mukanya dari dalam tas. Lagian benar juga kata Yohana, waktu istirahat Cuma tinggal 25 menit. Sedangkan yang diluar masih terhitung banyak. Terpaksa aku juga mengikuti Yohana, tapi untuk kali ini saja aku menunda mandi!
Aku sibuk mengeluarkan sabun wajah, sikat dan pasta gigi yang ada di dasar tasku. Aku sulit merogoh tas yang penuh dengan alat masak dan jaketku yang tebal,  aku lupa menaruhnya dalam kelas sebelum aku bawa ke kamar mandi. Sampai kemudian aku mendengar orang tertawa perempuan dewasa. Keras sekali! membuat bulu tengkukku berdiri. Tepat di belakangku. Deg! jantugku terasa berhenti. Aku mencoba menghibur diri dengan menganggap tawa itu, tawa dari Yohana. Tapi aku berfikir itu tawa Yohana. Segera mungkin aku membentaknya. ”Yohana! ngapain sih kamu tertawa sampai kayak gitu!” Yohana menatapku heran. Seakan-akan berkata ‘kamu ngomong apa sih?’
“Ketawa? Siapa ketawa ?” Yohana tetap menatapku heran.
Aku jadi bingung,“Oh nggak! Nggak apa-apa,a..aku salah denger” aku kembali merogoh tasku. Dan suara itu kembali terdengar, kali ini suara menangis. ”YO!!Apaan sih?” aku membentak Yohana lagi.
“Apa sih, Ran? Bentak-bentak mulu!” Yohana jadi jengkel karena ku bentak dia kesekian kali.
“Kamu mau ngerjain aku ya? Tadi ketawa barusan nangis, katanya takut! Kok jadi nakut-nakutin aku!” aku terus saja memarahinya karena ulahnya yang membuatku tidak nyaman.
“Ketawa? Nangis? Nggak liat apa aku dari tadi diem ?” Yohana masih bernada jengkel. Lantas Yohana mengerutkan kening. Memandangku.
“Apa? Mau bilang kalau tadi itu hantu?”
“Mungkin” berdiam sejenak lalu dia melanjutkan membasuh muka.
Apa iya tadi itu hantu? Kok Yohana nggak denger? kenapa harus aku yang denger suara itu?
***
Suara Kak Malik memecah keheningan,“1O menit lagi diharapkan semua siswa untuk tidur. Tidak boleh ada yang keluar kamar!” kak Malik berseru didampingi kak Naura serta kakak-kakak pembina lain di belakangnya.
Tepat yang dikatakan kak Malik. 10 menit selanjutnya sekolah menjadi hening. Semua siswa bersembunyi di balik selimut atau jaket mereka sendiri-sendiri. Mereka tampaknya sudah tertidur. Tak ada suara.
Aku bersembunyi di balik jaketku yang tebal. Mungkin aku berbeda atau kebetulan sama dengan siswa yang lain. Aku belum tertidur.
Tapi aku mencoba untuk tidur. Mencoba memejamkan mata. Beberapa saat aku terbangun lagi. Semula aku kira aku tidak nyaman dengan suasana seperti ini. Tapi kurasakan sekali lagi, ternyata aku ingin buang air kecil. Dikarenakan hawa dingin yang dari tadi terasa menyubit kulit tubuhku. Aku bangunkan Yohana untuk menemaniku. ”Yo, anterin aku dong..” kugerak-gerakkan tubuh Yohana yang mungil. ”Yo, nyenyak banget sih..anterin aku dooong kebelet niiih” pintaku sekali lagi. Yohana tak mau bangun juga. Sepertinya aku harus menahan sampai besok pagi. Sampai ada orang yang menemaniku ke kamar mandi. Kupejamkan mataku sekali lagi. Nggak kuat! Pekikku. Nggak mungkin aku nekad malem-malem gini ke kamar mandi, nanti ada hantu gimana, aku mengomel dalam hati. ”Yooo, anterin ke kamar mandi dooong” kucoba membangunkan Yohana sekali lagi.
Oke! Mau nggak mau aku harus berangkat sendiri. Nggak lucu kalau aku tiba-tiba ngompol disini, aku bisa menjadi bahan tertawaan dari kakak-kakak pembina dan teman-temanku, lagian mana ada hantu sih? Kuhibur diriku sendiri dengan mencoba berpikir realistis.
Aku bangun, kulihat disekelilingku, aku berharap ada yang bangun dan menemaniku buang air kecil. Mereka sudah nyenyak ternyata tidurnya. Pelan-pelan aku berdiri, tapi berasa ada yang mengamati gerak-gerikku. Tapi tak kuhiraukan. Aku ingin buang air kecil!
Sampai juga aku di kamar mandi. Aku bergidik, bukan! Bukan karena gelap. Kamar mandi sedang terang-terangnya. Tidak gelap sama sekali. Aku masuk di salah satu kamar mandi paling utara.
Aku nggak mimpi kan? berani banget aku malem-malem gini ke kamar mandi sekolah? hiii kalau nggak gara-gara kebelet...kataku dalam hati. Lega rasanya, seperti seharian nahan kencing. Padahal baru mau tidur tadi. Tapi rasa ragu-ragu menyergapku, buka pintu atau nggak. Kenapa jadi ragu gini? Tanyaku dalam hati.
Sayup-sayup kudengar sesuatu..pelan dan mengerikan...
Tiba-tiba ada seseorang bersenandung kecil. Suaranya tepat dibalik pintu kamar mandi. Kurasakan bulu kudukku berdiri saat seseorang mulai bicara. ”Aku sadar..aku sudah tua, Umurku hampir 100 tahun. Tapi kenapa kalian mengganggu kami? Kami tidak mengganggu kalian kalau kalian tidak mulai dulu..” lalu sesenggukan. ”Dulu..di zaman Belanda waktu itu, sekolah ini terbakar. Aku dan teman-teman mencari persembuyian. Tanpa pikir panjang kami meloncat ke dalam sumur itu. Tak terfikir..ternyata sumur itu sangat dalam. Berhari-hari kami tidak mendapat pertolongan sedangkan air di sumur tambah meninggi...akhirnya ajal menjemput kami. Tepat hari sabtu malam Minggu kliwon. ” Sesenggukan lagi. Siapa diluar? Pikirku. ”KENAPA KALIAN MENGGANGGU KAMII??  Dengan kalian menimbun sampah di tempat kami??” itu suara perempuan. Jelas sekali. Tiba-tiba tidak ada suara, hening. Aku bergidik. Aku benar-benar merasa takut.
Kriieet..
Kuseret perlahan pintu kamar mandi. Bau anyir darah langsung menyeruak kedalam hidungku. Aku meringis. Tiba-tiba ada yang mencekal tanganku. Lalu kumenjerit sekuat tenaga. Dia menyeretku, entah siapa. Seorang perempuan mengenakan dress warna putih selutut. Entah bagaimana wajahnya, setahuku menyeramkan setelah ia menoleh padaku sedetik yang lalu.
“Tolooooong....” aku menjerit sekali lagi. Aku diseret ke arah sumur tua dibelakang kamar mandi itu. Aku menahan langkahku, tapi cengkeramannya terlalu kuat. ”Siapa kau? Pergi! Lepaskan tanganku!!” jeritku.
“Kalian mengganggu kami!” katanya sambil melotot, matanya menyorot merah dan terus menyeretku ke arah sumur.
“Ampuun aku tidak mengganggu ! Lepaskan...” kataku pada wanita itu.
Lalu aku menoleh ke arah timur, tepat di samping musholah kira-kita 10 meter dari tempatku. Aku melihat kak Naura, Kak Malik, Yohana, serta semua orang yang ikut persami itu memanggil-manggil namaku. Mereka melambaikan tangan kepadaku sambil terus meneriakiku. ”Kak Maliiik tolooong...” aku terus meronta. Aku menangis. Dan dia terus menyeretku. Kemudian aku tidak tersadar lagi dan tidak ingat apa-apa lagi.
***
“Ranti..Ranti..” suara Kak Malik.
“Ranti..diik..” suara kak Naura.
“Ran..Ranti..bangun dong” Yohana menyahut.
Aku membuka perlahan mataku. Kepalaku pening, aku merasa kelelahan. Nafasku tersengal-sengal. Aku kenapa?
“Minum dulu ayok” kata Kak Malik sambil membangunkanku. Ku teguk segelas air putih itu. Aku benar-benar kelelahan, tenggorokanku terasa kering. Kulihat sekelilingku, mereka semua heran melihatku.
“Kak..” lirihku menatap kak Naura.
“Tadi kamu teriak-teriak waktu tidur. Kita kira kamu kesurupan” kata Yohana.
“Ceritakan apa yang kamu mimpikan” pinta Kak Nauradengan penasaran. Ternyata aku bermimpi. Mimpi yang paling buruk sepanjang hidupku. Ternyata aku hanya mimpi! Menggigil sekali aku mengingat tangan hantu itu yang menyeret tanganku.
Lalu kuceritakan semua yang aku alami dalam mimpi. Mulai dari aku membangunkan Yohana, mendengar seseorang berbicara dibalik pintu kamar mandi, sampai dia menyeretku ke arah sumur. ”Katanya kita mengganggu mereka karena kita membuang sampah ke sumur itu”. Kurasakan wajah teman-temanku seketika berubah menjadi was-was.
Oh Tuhan, kenapa aku baru sadar kalau ini juga ulahku. Tadi siang aku membuang bungkus makanan ke dalam sumur itu. Mungkin mereka marah juga karena aku yang berani menantang akan mitos Malam Minggu Kliwon itu. Kejadian itu memang benar adanya. Pernyataan itu dibenarkan oleh Pak Jalal penjaga sekolah ini. Ayah Pak Jalal dulu juga penjaga sekolah ini sejak zaman Belanda. Jadi beliau tahu persis keadaan waktu itu. Bagaimana saat kebakaran saat jam pelajaran, 5 anak muda yang masuk ke dalam sumur, hingga tiba-tiba ditemukan mereka sudah keadaan menjadi mayat. Ayah Pak Jalal tahu soal itu.
Bagaimanapun, mitos juga harus dipercaya. Seperti mitos malam Minggu Kliwon di sekolah ini. Mitos yang seharusnya aku percaya untuk menjadikanku tidak ceroboh seperti tadi siang. Agar mereka juga tenang, agar mereka tidak menggangguku serta siswa lain, agar sekolah ini tetap menjadi sekolah yang utuh tanpa gangguan makhluk lain.
Aku merasa sedikit tenang. Aku seperti menjadi perantara mereka untuk menyampaikan itu semua. Aku merasa sedikit lega walaupun aku masih teringat mimpi burukku tadi malam. Perantara yang sangat mengerikan! Lebih dari sebuah mimpi buruk!
Sambil membereskan barang-barangku ke dalam tas aku mendengar Kak Malik memanggil Pak Jalal yang sedang menyapu depan kelas. ”Pak Jalal, barusan pak Rudi menelepon saya setelah tadi subuh saya ceritakan kejadian Ranti. Katanya, Pak Jalal harus segera menutup lubang kecil itu. Untuk mencegah anak-anak sembarangan membuang sampah lagi di tempat itu.” Pak Jalal mengiyakan.
Setelah ini lubang itu akan tertutup. Tidak akan ada cela. Entah, apa mitos Malam Minggu Kliwon itu akan terus menjadi sejarah untuk sekolah ini. Atau mungkin dilupakan dan terus menimbun sampah. Apa akan ada kejadian seperti yang aku alami. Entahlah, ini mungkin menjadi yang terakhir karena tidak akan ada yang menimbun sampah di sumur tua itu lagi.
Tiba-tiba,seorang perempuan berlari, setahuku namanya Niar. Berlari menuju Kak Malik.” Kak Lia pingsan sambil mengeram deket sumur setelah dia buang bungkus tisu ke dalam sumur” kata Niar terengah-engah. Kak Malik dan Pak Jalal berlari diikuti Niar dan siswa yang penasaran.
Oh Tuhan, padahal mereka sudah diberi tahu, pikirku.
***
“Aaaaaaaaaarrghh....” Lia terus meronta dengan mata merah yang terbelalak. Tangannya mencengkeram kuat menarik baju Kak Malik dan Pak Ustadz yang datang beberapa saat lalu. Dan kakinya sekuat tenaga menyingkirkan kakak-kakak lain yang memegang pergelangan kakinya.
Mulut Pak Ustadz berkomat kamit membaca do’a untuk mengusir jin yang masuk ke tubuh Lia. Yang jadi pertanyaan adalah, kenapa Lia tidak dibawa ke mushollah atau kemana gitu. Kenapa masih ada di deket sumur ini? Ternyata usut punya usut, Lia nggak bisa diangkat. Badannya berat banget. Aku penasaran, aku melihat diamana Lia meronta itu dengan berjinjit-jinjit karena tubuhku lebih pendek dari teman-teman di depanku.Sekelebat aku melihat wajah dan mata Lia yang kemerahan. Aku jadi meringis sambil bergidik.
“Ooooaaaaaaahhh aaaaaarrgghhhh..hooh hooh hooh” Lia masih meronta. Dan aku semakin tergeser dari tempatku berdiri. Karena dorongan dari depan yang sepertinya takut karena eraman Lia. Tiba-tiba suara jadi hening. Lia tak sadarkan diri. Wajahnya dipenuhi oleh keringat. Selanjutnya Lia mulai bisa diangkat menuju UKS untuk direbahkan badannya yang kelihatannya sangat lemas. Dari jendela kulihat dia diberi bau-bauan oleh kak Naura dan Kak Shanti melepaskan jilbabnya lalu mengusap keringatnya dengan tisu.
Beberapa saat kemudian,saat semuanya kembali normal. Lia sudah sadar tapi harus tetap rebahan karena badannya yang tiba-tiba demam. Kak Malik juga sudah memberi himbauan sekali lagi untuk tidak membuang sembarangan di sumur itu. Semuanya diberi waktu untuk istirahat dan membereskan barang-barang sebelum upacara penutupan dimulai 5 menit lagi.
5 menit! Aku tiba-tiba ingin buang air kecil lagi. Kali ini aku tidak meminta Yohana untuk menemaniku. Karena ini pukul 10 pagi. Tidak ada yang perlu ditakutkan. Sampai di kamar mandi, entah kebetulan atau entah apalah namanya. Benar-benar sendiri! Tidak ada orang lain selain aku. Aku sedikit melirik melewati sumur yang suasananya tetap ganjil dari hari-hari sebelumnya. Dengan segera aku berlari kecil menuju kamar mandi.
Aku keluar dengan wajah lega. Tapi, aku merasakan ada seseorang jalan terseret-seret. Aku menigintip dari belokan kamar mandi. Suara itu berhenti di dekat sumur. Tak salah lagi. Itu Lia. Dengan wajah pucat sekali. Dia menghadap sumur, dan..oh sumur itu terbuka sendiri. Apa ini? Aku menahan jeritku dengan menutup mulut tak percaya. Apa ini mimpi? kuharap begitu. Oh Tuhan, sadarkan aku jika ini mimpi! Dengan perlahan Lia mendekati sumur yang terbuka itu. Aku ingin menghentikannya, tapi entah kenapa kakiku terasa berat sekali. Aku ingin berteriak, tapi lidahku kelu. Yang terjadi selanjutnya adalah Lia yang seperti mayat berjalan meluncur dengan sempurna ke arah sumur itu. Seperti ada yang mengajaknya. Seketika itu aku berteriak “Toloooooooong” lalu aku tak sadarkan diri. Aku terlalu kaget untuk melihat hal seperti ini.
Entah apa yang terjadi setelah ini. Aku hanya berharap ini semua adalah mimpi dan terbangun di kamarku sendiri.
***